08. Maaf, Ayresha

128 49 140
                                    

Aku berjalan santai sendirian melewati rumah-rumah penduduk yang masih begitu asri meskipun saat ini sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Di daerahku sini memang diwajibkan untuk menanam beberapa jenis bunga di setiap pelataran rumah.

Semerbak bau tanah yang khas akibat guyuran hujan siang tadi bercampur dengan aroma parfum maskulin milik seseorang yang baru saja lewat di depanku. Aroma parfumnya ketinggalan.

Saat ingin membuka gerbang, bertepatan dengan itu Gentala baru saja turun dari motor Varil. Setelah memastikan Gentala sudah turun dari motornya, Varil beralih menghampiri aku bersama motornya.

"Gue udah tau, Gentala lagi banyak pikiran. Kemarin dia nggak bermaksud untuk bilang gitu," ujar Varil ketika berada tepat di depanku.

"Ucapan Gentala jangan terlalu dipikirin, ya? Gue mohon sama lo, Ay. Cuma lo satu-satunya orang asing yang ngerti gimana Gentala selain sahabatnya, bahkan Hilda sekalipun kalah sama lo," imbuh Varil dengan tatapan memohon kepadaku.

"Iya. Makasih, Varil."

Varil hanya bergumam saja. Tak lama cowok dengan sepeda vario hitam itupun melenggang meninggalkan aku dan Gentala. Iya Gentala, dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Gentala tidak mengatakan sepatah kata pun. Cowok itu lebih memilih membuka pintu gerbang lalu masuk dan menutupnya kembali.

Disini yang salah siapa? Aku atau Gentala?

Biarkan saja. Jika Gentala memiliki rasa bersalah dia pasti akan datang kepadaku dan meminta maaf mengenai perkataannya waktu di taman belakang sekolah kemarin.

•••|FATAMORGANA|•••

"Gentala capek, Ay."

"Capek kenapa?" 

"Suatu hari nanti kalau Gentala punya salah yang nggak bisa untuk dimaafkan, Ay bakal maafin Gentala?" Gentala berujar sambil memainkan bola basket yang ada di tangannya.

Aku bingung, tentu saja.

"Tergantung. Tapi, Allah aja Maha Pemaaf."

Aku meninggalkan Gentala yang masih duduk di kursi taman. Cowok itu memang akhir-akhir ini terlihat seperti memiliki banyak pikiran. Tetapi, cowok itu memilih untuk diam daripada bercerita kepada diriku ini yang sering bercerita kepadanya.

"Ayresha?" Panggil Gentala yang tiba-tiba saja sudah berada di depanku.

"Kenapa?"

"Kalau aku berubah, kamu tetap berada di sisiku ya? Tolong jangan tinggalkan Gentala apapun alasannya. Bisa janji dulu?"

Dengan pikiran yang masih diselimuti oleh banyak pertanyaan saling bermunculan seakan minta dikeluarkan, dan sayangnya mulutku saat ini terkunci sangat rapat. Perlahan jari kelingking kananku bertautan dengan jari kelingking kiri milik Gentala.

Dan artinya... aku memberikan sebuah janji untuk Gentala yang bahkan aku saja tidak mengetahui apa alasan cowok bermata sayu itu tiba-tiba berkata seperti tadi.

Aku menghela nafas panjang. Ingatan itu lagi berhasil membuat otakku ini dipenuhi banyak pertanyaan dan praguda yang berbaur menjadi satu. Aku tidak suka menebak, apalagi kalau tidak tepat sasaran. Jatuhnya nanti suudzon sama orang.

FATAMORGANA [HIATUS]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant