FATAMORGANA • 15

53 10 21
                                    

Ini masih tentang Gentala Stefanus. Jika aku terus bergantung pada dia, bagaimana kalau suatu saat aku hidup tanpa dia? Berada jauh dari dia? Tidak mungkin kalau setiap hari harus bertukar kabar untuk menanyakan hal-hal tidak penting. Pasti akan ada masa-masa bosan dan akhirnya kita tidak bertukar kabar beberapa hari yang kemudian menjadi sama sekali tidak bertukar kabar. Atau kami berdua bakal merasa asing?

Aku menertawakan diriku sendiri. Merasa bodoh menjadi seorang cewek yang hidupnya terus bergantung pada orang lain yang belum jelas kedepannya akan seperti apa dan bagaimana cara menyikapinya. Aku juga tak jarang sering iri pada Gentala. Cowok itu bisa bergaul dengan siapa saja. Sikapnya yang friendly membuatnya bisa mendapatkan banyak teman laki-laki maupun perempuan, apalagi dengan tampang yang mendukung.

Aku melipat kedua kaki dan menyembunyikan kepalaku di tumpukan tangan yang ku letakkan di atas dengkul. Aku ingin bercerita ke siapa lagi kalau bukan ke Gentala? Ke Risha? Pasti cewek itu sedang belajar untuk mengejar materi karena akhir-akhir ini sering membolos pelajaran bersama Fatheo.

Hujan turun semakin deras dan suara bising yang timbul akibat bertemunya air hujan dengan seng membuatku semakin betah berlama-lama di sini. Ku seduh kopi yang sempat aku bawa tadi bersamaan dengan roti tawar yang memang sudah aku potong dadu.

Saat ini aku butuh ketenangan. Otakku rasanya ingin meledak hanya karena memikirkan Gentala. Berfikir soal Gentala, aku jadi teringat dengan kakak kelas yang diantar pulang sama Gentala tadi. Apa dia akan menjadi pacarnya Gentala yang kesekian? Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, aku harus menyiapkan hati kala cowok itu punya pacar baru.

"Nenek... Ay capek. Ay gak mau kayak gini. Papa sama Mama juga kenapa tinggalin Ay sendirian? Kenapa dulu waktu kecelakaan yang selamat cuma Ay doang? Kenapa harus Mama sama Papa? Kenapa bukan orang lain?" Aku terisak pelan. Kopi yang tinggal setengah itu sudah dingin, menyatu dengan dinginnya udara pada malam ini.

Usapan lembut di kepalaku dari arah samping yang secara tiba-tiba membuatku langsung mengangkat kepala lalu menoleh ke sumber tadi. Serem juga di halaman belakang malam-malam begini tiba-tiba ada yang mengusap kepala, apalagi masih hujan dan aku dari tadi sendirian.

Yang aku lihat saat ini bukan dedemit. Gentala sudah berada di samping kanan sambil menyodorkan hoodie hitam miliknya. Aku menenggelamkan kepalaku kembali, tidak berniat menerima hoodie itu. Gentala memang sering memergoki aku yang sedang seperti ini, entah itu di halaman belakang atau di kamar. Jadi sekarang aku biarkan saja cowok itu.

"Dingin, Ay. Ayo masuk, udah malam juga." Aku tidak menanggapi perkataan Gentala. Masih nyaman dalam posisi menenggelamkan kepala pada tumpukan tangan yang bertumpu pada dengkul.

Dapat aku dengar hembusan kasar keluar dari mulut Gentala. Tak lama cowok itu menyelimuti pundak ku dengan hoodienya tadi. "Jadi cewek jangan bandel, nanti sakit loh."

"Ayo masuk."

"Ay, ayooo..."

"Ayresha Zalferina yang cantik jelita dan baik hati ayo masuk."

"Ayo berdiri, Ay. Aku lagi males untuk gendong kamu. Eh sebenarnya karena gak dibolehin sama Mama."

"Ayolah Ayyy."

Ketenangan ku sirna. Gentala berisik. Aku ingin sekali menyumpal mulut cowok itu dengan roti tawar di sampingku. Tapi aku juga lagi males. Seperti yang sudah-sudah, pasti cowok itu akan beralih profesi menjadi wartawan dadakan. Tak lupa juga dengan berbagai kalimat penenang dan motivasi sebagai sesi penutup sebelum pulang ke rumahnya.

"Angkat kepalanya, emang gak pegel tuh leher?" Sebenernya pegel, Ta. Tapi udah nyaman begini.

"Ay-" Sebelum cowok berisik itu mengeluarkan suaranya lagi, aku terpaksa mengangkat kepalaku. Menatap Gentala yang ternyata juga menatapku. Kali ini cowok itu sudah duduk di samping kananku dengan posisi sama seperti aku.

FATAMORGANA [HIATUS]Where stories live. Discover now