20| Semua orang sibuk, kecuali Moza

Start from the beginning
                                    

Aku berdecak. "Mana mau manusia purba itu nganterin ke mal. Lagian Kak Dylan lagi main ke rumah temennya, Zil. Jadi, dia beneran nggak bisa diharapkan. Kita naik grab aja, ya?"

Terdengar helaan napas dari seberang panggilan. "Dadah Moza! Gue mau tidur siang. Sampai bertemu besok di sekolah!"

Setelah mengucapkan itu Zilva langsung memutus sambungan telepon kami. Aku hanya bisa menatap ponselku dengan tidak percaya.

"Bisa-bisanya!" gerutuku heran dengan kelakuan Zilva itu.

"Hahaaha!"

Aku yang kaget karena suara tawa itu langsung menoleh ke sumber suara. Kini di balkon kamar Ferrish sudah ada sosok penghuninya. Cowok itu tengah menatapku sambil tertawa puas.

"Apa sih, lo! Ngagetin tahu nggak," gerutuku menatapnya sebal.

"Sumpah ya, lo kasihan banget," katanya masih tertawa. "Nggak ada temennya."

Aku berdecak. Bisa-bisanya ngetawain!

"Diem nggak." Aku meotot kesal ke arahnya.

Ferrish menggelengkan kepala. "Nggak," katanya seraya menjulurkan lidahnya ke arahnya.

"Siang-siang udah panas, nggak usah nambahin bikin emosi, ya!"

"Jadi, gimana? Udah dapat temen buat diajak main belum?" tanya Ferrish dengan sisa tawanya.

Aku mendengus seraya membuang muka. Aku tidak suka diledek dan ditertawakan oleh Ferrish. Rasanya harga diriku jatuh sampai ke dasar bumi.

"Mau gue ajak main nggak? Ini gue mau cabut pergi."

"Nggak," kataku tanpa banyak berpikir. "Nggak butuh."

"Beneran?" tanya Ferrish lagi. "Lo yakin sendirian di hari Minggu yang panas ini?"

Aku kembali menatap ke arah Ferrish dan memicingkan mata ke arahnya. Aku tidak akan tergoda oleh bujuk rayu setan.

"Dennis pergi main sama Bara. Kak Eghi kencan sama Kak Shila. Kak Dylan juga kayaknya nggak di rumah. Sejauh yang gue denger tadi, kayaknya Zilva juga menolak ajakan main lo." Ferrish menatapku dengan prihatin. "Tapi, kalau emang lo maunya jaga rumah ya, gue bisa apa." Ferrish kini tersenyum lebar ke arahku sambil melambaikan tangan. "Dadah!"

"Emang lo mau pergi ke mana?" tanyaku cepat-cepat ketika Ferrish sudah berbalik untuk masuk ke dalam kamarnya. "Ferrish!" panggilku lagi.

"Kalau mau ikut buruan. Gue tunggu di depan rumah lo sepuluh menit lagi," kata Ferrish dari dalam kamarnya.

Aku memandang balkon Ferrish yang kosong. Memang apa gunanya harga diri, sih? Jadi, sebaiknya memang aku harus segera bergegas ganti baju agar tidak ditinggal oleh Ferrish.

***

Aku mengekor di belakang Ferrish yang saat ini berjalan memasuki toko buku.

"Lo mau cari buku?" tanyaku kepadanya. "Emang lo bisa baca?"

Ferrish menoleh ke arahku dengan tatapan sebal. "Memang sebaiknya tadi gue tinggal," katanya. "Kenapa juga nyesel datangnya belakangan," sindirnya dengan helaan napas dalam.

"Siapa suruh ngajak gue," kataku tak acuh. "Komik!" seruku menunjuk rak yang berisi komik. Setelahnya aku berlari kecil menuju rak tersebut.

Mataku menyisir deretan komik sambil membaca judul-judul komik tersebut. Rasanya sudah sangat lama aku tidak membaca dan membeli komik. Habis, mama selalu mengomel kalau tahu aku lebih sering pegang komik daripada buku pelajaran.

"Ini kayaknya bagus," kataku seraya mengambil sebuah komik yang bergambar sepasang tokoh dengan balutan baju pengantin.

"Lo mau bali komik?" tanya Ferrish yang sudah berada di sampingku.

Cinta Satu KompleksWhere stories live. Discover now