Cicak (mata-mata)

Start from the beginning
                                    

Nindi yang melihat tatapan Amira, merasa aneh lalu melihat arah pandangan yang di tuju Amira.

"Lihat cicak kok segitunya. Kayak mau nelan idup-idup." Batin Nindi.

"Ra.. Amira." Panggil Nindi pelan.

Amira menoleh. "Apa?"

"Ngapain liatin cicak segitunya. Ada dendam apa kamu sama tuh hewan?" Tanya Nindi dengan kekehan.

"Nggak!" Jawab Amira sewot.

"Dih, marah. Aku becanda kali." Ucap Nindi.

"Aku nggak marah sama kamu. Tapi aku marah sama cicak itu." Amira menunjuk cicak yang merayap dengan dagunya.

"Lah, emang tuh hewan salah apa sama kamu?" Heran Nindi.

"Dia mata-mata." Amira masih menghunuskan tatapan tidak suka.

"Hah.." Nindi semakin bingung.

Begitu jam istirahat tiba, Nindi semakin gencar bertanya kepada Amira tentang cicak yang Amira sebut sebagai mata-mata.

"Ra, aku masih penasaran nih sama tuh cicak. Gimana ceritanya bisa kamu sebut mata-mata?" Desak Nindi sambil menunggu pesanan bakso mereka.

"Kamu nggak bakalan ngerti." Ucap Amira santai.

"Ck, jangan bikin aku penasaran deh Ra." Sewot Nindi. Rasa keingintahuannya sudah di ubun-ubun.

"Yakin kamu bakalan percaya?" Amira balik bertanya.

"Udah deh Ra, nggak usah berbelit-belit ngomongnya. Langsung to the poin aja." Nindi sudah kesal.

Pesanan mereka telah terhidang.

"Makan dulu, ceritanya nanti. Aku udah lapar." Sela Amira membuat Nindi harus bersabar sebentar.

"Ok, boleh. Tapi kamu harus tetap ngasih tahu aku." Amira mengangguk sambil mengunyah bakso.

Sekali lagi Amira merasa ada seseorang yang mengawasinya lalu menoleh ke belakang untuk memastikannya.

"Nyari apa kamu?" Tanya Nindi sambil menyeruput kuah bakso yang sangat mantap di lidahnya.

"Nyari seseorang yang ngawasin aku." Jawab Amira jujur.

Nindi hampir tersedak kuah baksonya. "Di mana?" Tanyanya heboh sembari celingak-celinguk mencari wajah yang menurutnya mencurigakan.

Amira mengendikkan bahunya. "Entahlah aku nggak tahu di mana keberadaannya. Soalnya orangnya nggak kelihatan. Tapi yang jelas aku bisa merasakannya." Ungkap Amira.

"Laki-laki atau perempuan?"

"Kayaknya laki-laki deh." Perasaan Amira mengatakan seperti itu.

"Kamu punya musuh atau penggemar gitu? Kalau kamu nggak nyaman lebih baik kita lapor polisi aja. Aku khawatir orang yang ngawasin kamu itu orang jahat." Saran Nindi.

"Percuma lapor polisi. Orang yang ngawasin aku itu bukan orang sembarangan." Jawab Amira.

"Maksudnya?" Mata Nindi memicing.

"Semacam makhluk dari di mensi lain. Sama halnya dengan cicak tadi." Ucap Amira pelan.

"Makhluk dari di mensi lain? Kayak hantu aja." Ucap Nindi.

"Memang seperti itu kenyataannya." Sahut Amira lalu meminum es jeruk yang sedari tadi belum ia minum.

Nindi meletakkan telapak tangannya ke dahi Amira.

"Nggak panas." Ucapnya.

"Apa sih, kamu kira aku sakit apa!" Sewot Amira. Tiba-tiba sahabatnya itu bertingkah tidak jelas pakai acara mengetes suhu tubuhnya segala.

"Iya kamu normal. Tapi yang bikin aku aneh itu ucapan kamu yang bagiku nggak masuk akal." Ucap Nindi.

Amira menghirup nafas sejenak kemudian menghembuskannya secara perlahan.

"Kamu nggak bakalan percaya dengan kejadian yang aku alami beberapa hari ini, Nin." Ucap Amira pelan.

"Emang apa yang terjadi?" Tanya Nindi menautkan kedua alisnya.

Amira pun menceritakan semua keanehan yang ia alami tanpa ada yang terlewat sedikitpun. Nindi merasa pasukan oksigennya berkurang begitu hal di luar nalar itu terjadi pada sahabatnya.

"Bulu kudukku berdiri nih Ra." Nindi menunjukkan bulu-bulu di kedua lengannya berdiri meski tertutup pakaiannya.

"Sekarang hidupku jadi nggak tenang Nin." Ucap Amira dengan berkaca-kaca.

"Bahkan kalau malam aku jadi sulit tidur. Aku kerap merasa ketakutan, entah itu penyebabnya apa."

Nindi ikutan sedih melihat Amira yang biasanya periang sekarang terlihat sendu di wajahnya.

.

.

.
7 Juni 2023














Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now