Harum melati tengah malam

Start from the beginning
                                    

"Jadi meninggalnya di rumah sakit?" Gumam Amira pelan.

"Berulang kali Rania pingsan. Ibu nggak tega melihatnya."

                                       ***
Bakda maghrib, Amira datang ke rumahnya Rama turut tahlilan dan juga membantu di sana. Amira lihat, Rama berusaha tegar mengikhlaskan kepergian ibunya. Berbeda dengan Rania, begitu melihat dirinya remaja itu menumpahkan tangisnya di pelukannya.

"Aku udah nggak punya ibu Mbak? Sama siapa lagi kalo aku mau berbagi.." Isak Rania.

"Sstt.. kamu masih punya Mbak dan ibu. Ibu Mbak, ibu kamu juga." Amira mengusap-usap bahu Rania, menenangkan.

"Ibu cepet sekali meninggalkan aku dan Mas Rama ya Mbak. Ibu bahkan belum melihat Mas Rama menikah. Padahal Mas Rama berniat melamar Mbak, begitu ibu benar-benar udah sembuh." Ungkap Rania lirih.

Amira memilih diam. Ia sama sekali tidak menginginkan Rama sebagai suaminya. Jangankan cinta, suka saja tidak. Meski Rama tampan dan memiliki segalanya. Tapi kalau urusan hati, Amira tidak bisa sembarangan memilih.

"Keinginan terakhir ibu bisa lihat Mas Rama dan Mbak bersanding di pelaminan." Ucap Rania lagi.

"Ran.. kenapa ibu kamu ingin sekali Mbak yang jadi menantunya?" Tanya Amira.

"Karena Mas Rama udah dari dulu suka sama Mbak. Apalagi ibu juga tahu gimana sifat dan sikap Mbak. Jadi ibu setuju-setuju aja. Begitu Mas Rama bilang pada ibu kalo suka sama seseorang, ibu langsung antusias. Siapa orangnya? Aku juga penasaran dan ternyata orangnya nggak jauh-jauh amat. Kami ternyata kenal." Rania terkekeh seolah lupa dengan kesedihannya.

Di tengah-tengah suara orang mengaji, Rama melirik adik dan gadis pujaannya tersenyum lebar. Meski ia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan tapi ia senang dengan hadirnya Amira, adiknya itu tidak larut bersedih.

"Mbak Amira nanti nginap di sini ya. Jangan pulang." Pinta Rania.

"Gimana ya?" Amira berpikir dulu.

"Ya Mbak. Temenin aku. Aku pengen tidur sama Mbak." Rania memohon.

"Emm.." Masa iya, ia harus tidur di rumahnya Rama. Ingin sekali Amira menolak tapi melihat muka melasnya Rania. Amira merasa tidak tega.

"Mbak, tidur sini ya sama aku." Desak Rania.

"Iya Nak, kamu tidur di sini saja. Nggak papa, ayahmu juga pasti ngizinin. Kasihan Rania." Sahut Bu Halimah membuat dua gadis itu langsung menoleh.

Amira menggangguk. "Ya udah, Mbak bakal nginap sini. Temenin kamu tidur."

"Makasih Mbak!" Rania memeluk tubuh Amira lagi. Malam ini ia tidak akan kesepian.

Acara tahlilan telah selesai. Amira dan yang lainnya membantu membersihkan ruang tamu yang dijadikan tempat mengaji. Diam-diam Rama mendekati Amira saat gadis itu mengumpulkan gelas kemasan air mineral bekas minum orang-orang ke dalam ember.

"Terima kasih sudah datang kemari." Ucap Rama pelan di belakang Amira, sontak Amira langsung menoleh karena cukup terkejut.

"Hmm." Hanya itu sahutan Amira.

"Saya dengar kamu juga bakal tidur di sini menemani Rania. Benar itu?" Tanya Rama.

"Ya." Amira menjawab singkat.

"Jika ibuku punya salah sama kamu. Tolong maafin ibu ya."

"Selama ini beliau tidak punya salah apa-apa sama aku. Justru aku yang harusnya minta maaf karena aku tidak bisa memenuhi permintaan terakhirnya."

"Kita bisa mengabulkan keinginan terakhir ibu." Ucap Rama.

"Dalam mimpimu!" Desis Amira kesal. Jangan harap itu akan terjadi.

                             *
Rania sudah terlelap ke alam mimpi, mungkin gadis itu kelelahan seharian menangis terus. Sedangkan Amira tidak bisa memejamkan mata. Ditatapnya langit-langit kamar Rania yang sedikit pencahayaan itu.

Waktu sudah tengah malam. Amira yang baru memejamkan mata mencium harum bunga melati. Sangat segar di indera penciumannya.

"Amira sayang.." Samar-samar ia mendengar suara memanggil namanya.

"Amira.. Nak.."

Tidak mungkin itu suara ibunya karena Bu Halimah sudah pulang bersama ayahnya sejak empat jam yang lalu. Juga tidak mungkin suara Rania.

"Amira..." Suara lembut itu memanggil lagi. Amira sangat kenal dengan suara itu, suara yang di miliki oleh...

Ibunya Rama. Wanita paruh baya itu sekarang berdiri di depannya dengan wajah pucat.

"Aaaa..." Amira menjerit di keheningan malam.

.

.

.
5 Juni 2023.

Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now