BAGIAN 39

14 3 0
                                    

Begitu cepat jejak-jejak nya tertinggal tanpa diperhatikan. Kehilangan satu siswa yang tidak pernah ketinggalan kamera itu telah membuat suasana Natuna menjadi sedikit berbeda. Bayangannya seakan masih berkeliaran di tempat-tempat tertentu. Senyuman tulusnya, suara lembutnya, serta bahasa yang digunakannya menjadi suatu hal yang paling sulit disamakan dengan manusia lainnya. Kadang, cerianya wajah bukan berarti tanda bahagia, barangkali hanya sebagai penutup luka dan derita. Tanpa disadari, topeng-topeng itu sejatinya banyak berkeliaran. Tanpa dipikirkan lebih dalam.

Sulit menebak isi kepala manusia yang bersisi setumpuk persoalan yang tidak bisa dipecahkan. Manusia memang pandai menghakimi, tanpa tahu perasaan dalam satu posisi yang sama. Bukan menguatkan, tapi berakhir dengan membandingkan. Hal demikian, justru semakin memperburuk keadaan.

Kematian yang menakutkan atau kehidupan yang justru menyakitkan. Dipaksa bertahan namun tetap berujung pada penderitaan. Bukan menyerah, hanya saja hati sudah terasa lelah. Dan, mungkin saja, laki-laki yang bernama Ditya itu sudah kehilangan arah.

Berita seminggu lalu, masih saja diperbincangkan di setiap penjuru. Mereka yang tidak tahu menahu asal muaranya itu, bahkan berkomentar sesuka hati. Seolah, sesuai fakta yang tidak diragukan lagi.

"Masa gara-gara patah hati aja langsung memilih untuk mengakhiri hidup."

"Laki kok mentalnya kayak Yupi."

"Kayak enggak pernah patah hati aja lo."

"Ya, paling juga nangis dipojokan nggak sampai bunuh diri juga kali."

"Enggak ada yang ngasih opini lain apa? Siapa tahu si Bunga-Bunga itu pelakunya, upss ... Salah bicara."

Bunga yang memang baru saja lewat di depan para gadis sok tahu itu, hanya mengabaikan percakapan mereka. Dianggapnya seperti angin lewat. Dan, bodo amat. Toh, jika sudah kelelahan mencaci mereka juga akan berhenti sendiri.

"Aku mau jadi pacar kamu, hanya untuk sementara waktu. Kenapa begitu? Karena aku cintanya sama sahabatmu! Keren nggak tuh?!"

"Eh? Gimana-gimana? Suka sama sahabatmu? Siapa tuch? Aku juga mau tahu loch ..."

Tidak ada orang yang berani bersuara untuk membungkam mulut-mulut tidak tahu dosa. Barangkali, ada satu orang laki-laki yang juga kebetulan lewat di hadapan mereka. Bersedekap dada dengan raut wajah berbeda.

"Boleh pinjam cermin?" ujarnya santai.

Jingga yang berada tak jauh, memperhatikan tingkah laki-laki itu. Gadis yang mengungkapkan kalimat tak senonoh tadi, tiba-tiba terdiam. Saling melempar pandang. Membingungkan.

"Cewek biasanya suka bawa cermin kemana-mana kan?" lagi, laki-laki itu bertanya.

"Oh, enggak bawa ya?" Merasa tidak ada jawaban, laki-laki itu kembali melangkah dengan tenang. Perbuatannya barusan justru mengundang perhatian. Bunga juga mendadak menyaksikan dari kejauhan.

Saat lima langkah setelahnya, tubuh tegap laki-laki itu kembali berbalik. Keningnya mengerut sembari memberikan tatapan menghunus.

"Jangan cuma wajah aja yang dirias biar kelihat cantik. Tapi, rias akhlak juga perlu supaya kelihat baik. Jangan jadi sok langit!" tekan Adnan seraya meninggalkan area gosip tulen.

Pesannya bukan lagi tersirat. Cukup jelas untuk dipahami lebih rinci. Yang jelas, Adnan berhasil membuat para gadis itu jengkel setengah mati. Tentunya, Jingga puas sekali.

[][][]

Jrenggg.

Siapapun. Siapapun yang sedang menikmati segala jenis makanan yang disajikan itu, serentak menoleh pada kehadiran seseorang di ujung sana.

JINGGA [Completed]Where stories live. Discover now