BAGIAN 2

152 47 17
                                    

Sebelum membaca bagian ini, pastikan kamu mengambil posisi ternyaman.

Selamat membaca ^^

[][][]

"Gue nggak mau tahu ya Surya. Lo sendiri tadi yang bilang kalau lo mau bayarin semuanya!"

"Tapi sebelum gue bilang, memangnya gue ada kata janji?" kata Surya tak kalah ketus dibandingkan suara Cahaya yang nyaris membuat telinga berdenging. Cahaya sudah tak mood gara-gara laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab.

"Lagian duit gue aja sisa goceng. Cuma buat bayar parkir itu juga," tambah Surya semakin membuat Cahaya kesal sendiri.

"Ya kalau gitu ngapain bilang kalau mau traktir segala?" tekan Cahaya.

"Yang penting tugas gue selesai kan?"

Kedua tangan Cahaya diangkat ke arah laki-laki itu dengan gerakan seperti ingin mencakar wajah Surya. Tapi, gadis itu tidak kunjung melakukannya. Sadar akan tempat, Cahaya malahan menarik napas panjang. Mengambil sikap lebih tenang.

"Gue nggak percaya kalau tiba-tiba anak kepala sekolah jatuh miskin. Lalu, bayar parkir? Lo kan bisa bebas tanpa bayar. Bahkan kalau misalnya lo mau jadi anak berandalan juga bakal terbebas dari semua hukuman yang diterapkan."

"Ngomong seenak jidat lo!"

"Yang punya sekolah itu Bapak gue, lah gue sebagai anaknya nggak ada hak buat berbuat seenaknya. Lo kira jadi anak kepala sekolah itu menyenangkan?"

"Intinya gue nggak mau tahu bayarin semua makanannya Surya!" teriak Cahaya sekali lagi. Area kantin yang masih terlihat ramai sesekali tatapan mereka mengarah pada keduanya. Surya jadi malu sendiri. Perlahan tangannya merogoh uang lima ribu di saku bajunya. Dan laki-laki itu memberikan langsung pada penjual kantin.

"Saya baru ada lima ribu Bi. Nanti sisanya biar Cahaya yang bayar," tutur Surya enteng.

"SURYA ADINATA!!"

Tangan Cahaya sudah menjewer telinga Surya kuat-kuat membuat sang empu meringis pelan.

"Aduhhh... Ca, kuping gue copot Ca!"

"Bayar dulu Surya!"

Cahaya menguatkan tarikannya. Memutar kuat-kuat. Telinga Surya nampak semakin memerah. Jika sudah seperti ini, jangan harap bisa terbebas dari amukan Cahaya. Tidak peduli akan keramaian kantin, juatru semakin membuat Cahaya bertingkah.

"Seriusan ini sakit woi, kayak sakaratul maut, aduhhh... gue beneran Ca!"

"Bayar atau hilang kuping lo!"

Bisa-bisa mati gue.

Sebagian siswa menyaksikan dua sejoli itu dengan tatapan ngeri. Bagaimanapun juga, sikap Cahaya memang sudah biasa. Gadis ini terkenal akan kebengisannya. Tapi, hanya berlaku dengan membelela kebenaran yang hakiki.

"Ca, lepas Ca. Gue bayar."

"Keluarin dulu duitnya!"

"Ya lepasin dulu makanya!"

Cahaya dengan paksa merogoh saku baju laki-laki itu. Sayangnya, gadis itu tidak menemukan uang di sana. Lalu, Cahaya beralih dengan memeriksa kantong celana Surya. Laki-laki itu hanya melototkan matanya.

"Ca, ngapain lo!"

"Ketemu!" Cahaya kegirangan saat mendapatkan dompet Surya di balik kantong celana. Gadis itu sektika terlonjak kaget saat membuka dompet milik Surya. Lembaran berwarna biru ditariknya cepat. Dan menyerahkan dengan segera pada penjual kantin. "Bi, sisanya tadi berapa?"

Surya masih memegang telinganya. Rasa sakit yang melanda tidak kunjung hilang. Laki-laki itu menatap Cahaya dengan wajah garang.

"Ini sih pelecehan namanya!"

Cahaya memberikan dompet berukuran kecil pada pemiliknya dengan segera.

"Kembaliannya mana?" tekan Surya.

"Makasih Surya, hari ini lo ganteng banget deh. Makin suka diliatnya," ucap Cahaya sembari tersenyum yang dibuat-buat. Tangan gadis itu perlahan mengusap rambut Surya.

Laki-laki itu segera menepisnya.

"Bye bye.."

Cahaya segera melangkah pergi dengan senyum merekah. Surya tampak mengamati tingkah gadis itu dengan perasaan tidak sukanya.

Seperti tersadarkan, laki-laki itu berteriak kencang.

"Woi! Kembaliannya mana!"

"Gila! Lima soal lima puluh ribu. Bisa rugi gue."

[][][]

Seorang laki-laki tengah berjalan di pinggir danau sembari memusatkan perhatiannya pada kupu-kupu yang hinggap di atas bunga teratai. Berharap dapat menangkap gambar yang bagus untuk di simpan dalam buku albumnya. Laki-laki itu adalah Ditya.

Namun, suara bel masuk tanpak nyaring mengganggu konsentrasinya. Laki-laki itu seketika memotret dengan cepat. Tampak asal tapi masih dengan kualitas yang bagus.

Perlahan, rambut bergaya curtains itu ditariknya ke belakang. Tampak lebih elegan dan siapapun yang melihatnya pasti akan terkesan.

"Kak Ditya! Tadi dicari Kak Adnan," suara dari arah belakang membuat sang empu menoleh ke arahnya.

"Iya, nanti Saya ke sana."

Atas respon yang terlontar baru saja, sudah membuat gadis itu tersenyum ceria. Kalangan siswi SMA Natuna kebanyakan mengenali Ditya dengan cepat. Siapapun. Selain akan kelembutan bahasanya, laki-laki itu juga tampak rendah hati.

"Kalau gitu, Saya duluan," pamit Ditya.

Saat tidak ada lagi bayangan Ditya. Gadis itu melompat-lompat seperti orang kesurupan. Sesekali juga gadis itu menampar pipinya sendiri.

"Gila! Itu tadi beneran Kak Ditya?!"

"Dan, gue baru aja ngomong sama dia?!"

Gadis itu tidak lain adalah Arumi. Siswi kelas sebelas IPA Satu yang sudah lama mengagumi Ditya di SMA. Sama hal nya seperti Jingga. Keduanya tengah mengagumi dalam diamnya. Jika Arumi mampu berkomunikasi dengan laki-laki itu, maka Jingga hanya mampu menatap laki-laki itu dari jarak yang jauh dan mengawasi pergerakan laki-laki itu. Sesuatu yang dipendam, agaknya memang terlalu menyakitkan untuk diutarakan.

_______________

Sebelum membaca halaman selanjutnya, pastikan kamu sudah meninggalkan jejak dengan menekan bintang di pojok kiri bagian bawah. Terima kasih ^^

JINGGA [Completed]Where stories live. Discover now