11. SAKIT YANG TERPENDAM

1.3K 36 0
                                    

"Kau sudah makan?" tanya Bamantara serius menatap Jelita.

"Eh! Kau belum tidur? Aku baik-baik saja, Tara. Juga sudah makan." Jelita merapikan rambutnya agar tampak menggoda di depan Bamantara Putra.

"Jelita, aku mau tanya sesuatu. Apakah benar Nur mendorongmu tadi sore? Bukan karena kau jatuh sendiri atau terdorong jatuh tanpa sengaja, kan?" Bamantara menekan. Curiga barangkali saja ucapan Nur benar.

"Jika itu membuat Nur nyaman ... maka katakan padanya aku jatuh sendiri, Tara. Supaya hatinya puas. Lagipula tidak ada salahnya kau membela istrimu. Memangnya kenapa? Apakah Nur mengadu padamu?" Jelita ingin tahu. Jika iya, maka hukuman yang akan diterima Nur tidak main-main. Merasa Nur sudah kurang ajar dengan mengadu pada Bamantara Putra.

"Tidak juga. Aku hanya bertanya, Jelita. Jika memang Nur bersalah, aku sebagai suaminya sudah seharusnya menegur. Aku tidak suka dengan wanita keras kepala yang sukanya merugikan orang lain. Itulah sebabnya kenapa tadi aku membelamu agar tidak dibenci oleh Nur. Sebab Nur menganggap kau jahat padanya. Sementara jika kau memang jahat pada Nur ... " Bamantara mendekat serius menatap Jelita. "Jangankan kedua orangtuanya Nur! Aku sendiri yang akan membalasmu tak peduli meski kau adalah sahabat baikku sekalipun." Bamantara tidak main-main memperingatkan Jelita.

"Aku--"

"Namun, tenanglah. Sejauh ini aku masih percaya padamu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Nur mendorongmu. Maaf jika hal ini membuatmu tidak nyaman, Jelita. Selamat malam." Bamantara hendak keluar tapi dipanggil oleh Jelita.

"Tara!" Jelita memanggil juga meringis.

"Ada apa?" Bamantara tidak sabar menatap Jelita. Ingin segera menjumpai Nur.

"Bisa belikan pembalut di warung depan? Aku tidak tahu pas sampai rumah ternyata si merah datang. Biasanya tidak tanggal segini. Berhubung tadi tegang, sepertinya itu jadi faktor utama." Jelita mencari alasan agar Bamantara Putra meninggalkan rumah. Jelita ingin memberi pelajaran pada Nur.

"Kenapa tidak bilang pas masih ada Joni?! Kau membuatku bolak-balik meninggalkan rumah saja, Jelita." Tara kesal menatap Jelita.

"Maaf. Ini bukan mauku. Tapi ...."

"Sudahlah. Kau tunggu sebentar." Bamantara menyerah dan mau tidak mau meninggalkan rumah menuju warung depan.

Saat Bamantara keluar, Jelita langsung naik ke atas menuju kamar Bamantara. Tiba di sana, Jelita menjambak rambut Nur tak peduli gadis itu tertidur lelap.

Setelahnya, Jelita tarik rambut Nur agar gadis malang itu berdiri. Membuat Nur mau tidak mau membuka mata sebab tarikan tangan Jelita sangat kuat dan kasar.
Nur yang terlalu kaget, pusing kepalanya kurang jelas menatap Jelita.

"Kak?" Sangat terkejut sampai lebar terbukanya mata Nur.

"Bangun, Wanita bodoh!" Jelita menarik rambut Nur kuat-kuat. Sangat panas dan ngilu dirasa Nur. Sampai terasa nyeri tak terkira.

"S-sakit, Kak. Ampun," lirih Nur menangis dijambak Jelita. Rambutnya seolah mau lepas dari kepala.

"Heh! Sudah begini baru minta ampun, Kamu. Katakan! Mengadu apa kamu sama Bamantara Putra?! Cuih! Jalang sialan!" Jelita meludahi Nur.

"A-aku tidak mengadu macam-macam, Kak. Maaf ... " Nur benar-benar tidak kuat menahan sakit dan ingin dilepaskan.

"Asal kau tahu, Gadis miskin. Bamantara mencintaiku! Saat ini tidur di kamarku. Tidak sudi memiliki istri bodoh sepertimu! Pulang ke Malaysia sana dan tinggalkan Indonesia. Jika perlu tinggalkan dunia. Kau paham?! Kurang ajar!" Jelita melempar Nur ke ranjang tak lama kemudian Jelita tutupi wajah Nur dengan bantal.

KESAYANGAN GURU BAMANTARA (22+)Where stories live. Discover now