KESAYANGAN GURU BAB 2

6.2K 95 1
                                    

Sesampainya di rumah Bamantara, Nur enggan untuk turun dari mobil. Dia benar-benar ingin pulang tapi tak sanggup melawan keras kepala sifat Bamantara. Pria itu sekali bilang ya! Maka harus iya.

"Pak, Saya pulang saja, ya. Tidak masalah sendirian di rumah. Saya tidak mau tinggal di rumah, Bapak." Nur merengek minta diperbolehkan pulang.

"Sekali tidak tetap tidak, Nur. Kenapa kau melawan?! Minta diberi nilai buruk di sekolah? Hah?! Dengan Sita kau menurut. Denganku kau melawan. Coba saja pulang! Aku akan mematahkan pergelangan kakimu!" seru Bamantara sengaja menakut-nakuti Nur.

"Tapi, Pak--"

"Aku bukan bapakmu, Noor Dina Asikin. Jadi panggil saja dengan sebutan Mas jika di luar sekolah. Astaga!" Bamantara saking kesalnya memanggil nama lengkap Nur. Panjang memang, tapi kebanyakan orang memanggil Noor Dina Asikin dengan sebutan Nur.

"Tapi, Pak. Umph!" Nur berhenti berbicara lantaran Bamantara tanpa disangka-sangka mencium bibirnya. Menghentikan gadis itu berbicara.

Jantung Nur berdetak kencang tidak karuan, bibirnya yang selama ini suci tidak pernah dicium oleh seorang pria manapun kecuali ayah dan kakeknya, kini dicium Bamantara Putra. Guru olahraganya di sekolah. Saking kagetnya Nur sampai sesak nafas.

"Hah ... " Bunyi nafasnya Nur setelah dilepaskan ciumannya oleh Bamantara.

Bamantara sendiri kesal lantaran Nur tidak membalas ciumannya. "Kenapa tidak membuka mulut? Haruskah hal semacam ini aku beritahukan padamu? Buka mulutmu!" Bamantara berseru memaksa Nur. Akan tetapi Nur, malah menangis tidak mau dicium Bamantara.

Nur keluar dari mobil dan berlari meninggalkan rumah Bamantara. Dengan langkah cepat Bamantara mengejar Nur sebab selain kaki gadis itu pendek, langkahnya terbilang lemot dan tak bisa mengimbangi langkah Bamantara.

"Mau lari kemana? Kembali ke rumah!" paksa Bamantara ditertawakan kecil oleh beberapa tetangga.

"Istri kecilnya marah lagi, Mas? Kasih permen juga diam. Lagian ada-ada saja Mas Bamantara ini, menikahi gadis kecil Noor Dina Asikin." Tetangga sebelah rumah Bamantara tahu sebab menikah kemaren pemuda itu yang menerima tamu dari pihak laki-laki.

"Diam kamu, Pram. Sudah tahu istriku marah. Malah digoda." Bamantara kesal menghadapi sahabatnya.

"Nak Bamantara. Gendong saja dia!" Ibu-ibu penjaga warung memberikan arahan pada Bamantara.

Nur makin ingin menjauh tapi keburu digendong oleh Bamantara.

"Pak Bamantara, lepas!" Nur memberontak dari pelukan guru mesumnya. Mesum sebab mencium bibir Nur secara paksa. Bukannya jatuh cinta Nur malah takut pada Bamantara lantaran usianya yang masih terbilang remaja, Nur baru kali ini dekat dengan seorang pria selain ayah dan kakeknya. Gadis itu pemalu sejak kecil.

"Aku lepaskan tapi setelah tiba di rumah, Nur. Bukan di sini. Diamlah! Jangan bikin malu. Apa kau tidak malu dipandangi beberapa tetangga? Menurutlah!" Bamantara makin erat memeluk Nur dan dibawa jalan menuju rumah.

Tak heran jika banyak dari tetangga mentertawakan mereka berdua sebab mengerti jika Nur masih tergolong gadis remaja. Wajar jika malu menurut mereka semua.

"Gadis itu benar-benar masih remaja. Tidak dibuat-buat dan memang seperti itulah adanya dia. Saat jadi pengantin terus menangis tanpa henti. Itulah sebabnya selesai acara pernikahan langsung dibawa pulang oleh kakeknya meski ibunya Nyonya Ani Asikin memarah Nur habis-habisan. Sebab Nur tidak mau tinggal dengan suaminya yaitu Nak Bamantara," ucap Ibu Ine atau tetangga di depan rumah Bamantara memberikan penjelasan pada temannya yang saat itu datang bermain ke rumah. Teman dari ibu Ine tersebut adalah Ibu Ria.

"Bagiku manis sekali ... andai aku yang jadi Nur! Sudah menurut layaknya orang kena pelet. Nak Bamantara ganteng begitu. Sayang usiaku sudah tua, jika masih muda! Aku rayu habis-habisan dia!" Teman dari Ibu Ine tersebut malah tergoda dengan Bamantara.

"Nyebut, Ria. Usiamu sudah 50 tahun." Ine tersenyum jenaka sementara temannya Ria kesal bukan kepalang. Tidak suka jika Ine membahas soal usia. Bagi Ria dirinya selalu muda tak pernah tua.

Sesampainya di halaman rumah, Bamantara menurunkan Nur dan langsung mengunci pintu gerbang. Dengan demikian, istrinya Nur tidak akan kabur lagi. Kunci Bamantara sembunyikan ke suatu tempat hingga Nur tak bisa keluar.

Sedang Bamantara sendiri kini bebas bertindak sesuka hati. Semua pelayan sengaja diliburkan oleh Bamantara benar-benar ingin menghabiskan waktu berdua dengan istrinya.

"Kenapa diam di tempat? Ayo masuk!" ajak Bamantara.

"T-tidak mau, Pak. Aku di sini saja!" Nur tetap dengan keinginannya di awal tak mau tinggal di rumah Bamantara.

"Astaga! Kesalahan apa yang aku buat di masa lalu?! Kenapa mendapatkan istri yang tidak patuh sepertimu. Masuk!" bentak Bamantara hilang kesabaran menatap istri kecilnya.

"Tidak mau. Hu ... " Nur menangis makin histeris sedangkan tetangga di luar pagar tersenyum merasa Nur sangat lucu.

"Huft ... " Bamantara menenangkan dirinya sejenak. Kemudian dia hampiri Nur dan meraih bahu gadis tersebut dengan lembut. "Baiklah. Maaf, Nur. Kau ingin pulang, bukan? Maka diam!" Bamantara berucap sabar.

Sontak Nur terdiam, dia usap air mata di wajahnya dengan cepat. Hal itu nampak menggemaskan bagi Bamantara hingga ingin sekali melumat bibir mungilnya.

"Kita istirahat di dalam sebentar. Aku akan ganti baju dan setelahnya mengantar kau pulang." Bamantara mengajak Nur masuk dan gadis itu pun menurut. Senang sebab akan diantarkan pulang.

Melihat ke dalam rumah Bamantara, Nur kagum betapa indah rumah suaminya. Benar kata ibunya bahwa rumah Bamantara Putra sangat luas dan indah. Akan tetapi, bukan itu yang jadi fokus utama Nur setelahnya. Melainkan membayangkan betapa lelah dirinya jika tinggal di rumah Bamantara.

Ayahnya bilang seorang istri harus ikut pada suami. Namun, rumah Bamantara ini membuat Nur Asikin bergidik ngeri. Luas dan lebar.

"Kenapa diam? Masuk, Nur," perintah Bamantara.

Nur hanya menurut tanpa bersuara. Dirinya yang tadinya berdiri di depan pintu, kini menuju ruang tamu dan duduk di sofa yang besar berwarna coklat muda. Sedang dindingnya berwarna krem. Bingkai foto berbentuk persegi luas dan lebar ukuran satu meter menghias dinding rumah Bamantara.

Sejenak Nur kagum pada ketampanan suaminya, mengenakan pakaian pengantin khas kota Padang berwarna merah. Nur sendiri masih ingat betapa sering Bamantara memuja dirinya cantik. Akan tetapi karena menikah di bawah tekanan, Nur terus menangis dan bersembunyi di punggung kakeknya kala Bamantara mendekat.

Tiba di Jakarta barulah Nur memakai pakaian pengantin biasa dan tak kalah cantik menurut Bamantara. Berulang kali pria itu memujinya tapi Nur abaikan saja. Setelah pernikahan lantaran Nur tetap tak mau tinggal bersama, akhirnya memilih tinggal dengan kakeknya yang mau tidak mau mengontrak di Jakarta. Namun, semua biaya tempat tinggal dibiayai oleh Bamantara.

Kini karena ada urusan penting, Nur tinggal dengan Bamantara sedang kakeknya Nur Asikin pemilik nama Sabaruddin pergi ke Malaysia menemui putrinya dan tinggal di sana selama beberapa waktu.

Melihat istrinya tidak betah tinggal dengannya, sepertinya Bamantara harus mengantar Nur Asikin tinggal di rumah kontrakan kakeknya. Rumah yang sebenar-benarnya adalah milik Bamantara sendiri tapi dibilang mengontrak agar Nur merasa kasihan pada kakeknya dan mau tinggal dengannya tapi sudah dasarnya keras kepala, Nur memaksa tinggal di rumah terpisah dengan Bamantara.

***

KESAYANGAN GURU BAMANTARA (22+)Where stories live. Discover now