22 | Mencetuskan Secara Mendadak

827 91 5
                                    

Rian duduk tepat di samping ranjang milik Hani sambil memegangi tangan wanita itu. Hani tidak kembali tidur seperti tadi, karena efek obat yang Dokter berikan sudah hilang sepenuhnya. Wanita itu masih berupaya untuk membiasakan diri dengan rasa sakit yang sedang dirasakannya.


"Apa pekerjaan Mas sama sekali tidak terganggu? Seharusnya Mas enggak perlu terbang ke sini untuk menyusul aku," ujar Hani.

"Enggak sama sekali. Pekerjaanku nomor tiga. Kamu nomor dua yang harus aku lebih perhatikan daripada pekerjaan."

"Nomor satunya Allah, 'kan?" tanya Hani.

Rian pun mengangguk.

"Intinya, kamu enggak perlu khawatir soal pekerjaanku. Kapan pun aku mau libur, itu adalah keputusanku. Aku enggak mau cemas terlalu lama setelah mendapat kabar tidak baik tentang kamu. Aku mau mendampingi kamu. Jadi sejauh apa pun keberadaan kamu, pasti akan aku tempuh untuk bisa berada di sisi kamu," jelas Rian.

"Masalahnya kali ini aku yang lengah, Mas. Aku yang tidak bisa melindungi diri sendiri dari serangan kedua orang itu."

"Wanita mana yang bisa melawan dua orang pria sekaligus, Hani? Wanita memang terkadang punya kelemahan, dan salah satunya adalah tidak bisa bertarung dengan pria," ujar Rian.

"Ziva bisa, Mas. Dia selalu menang kalau sudah berkelahi dengan pria mana pun," Hani menyanggah.

Rian pun terdiam sambil menatap Hani begitu lama.

"Raja kira-kira akan marah atau tidak, jika aku sedikit membahas tentang Istrinya secara diam-diam?" tanya Rian.

"Mm ... tergantung sih. Raja pasti marah kalau Ziva dibicarakan diam-diam dengan topik pembicaraan yang tidak benar. Tapi mungkin dia tidak akan marah jika Ziva dibicarakan diam-diam dengan topik sebuah perbandingan antara wanita yang bisa berkelahi dan tidak bisa berkelahi," jawab Hani.

"Tapi itupun masih 'mungkin', ya? Berarti bisa saja Raja akan tetap marah?"

"Iya, benar sekali."

"Oke, kalau begitu mari kita bahas yang lain saja. Kamu mau buah apel atau jeruk?" tawar Rian.

Hani pun berupaya menahan tawanya saat mendengar peralihan topik pembicaraan mereka menjadi menuju ke arah buah-buahan.

"Aku enggak suka jeruk, Mas. Lebih suka apel," jawab Rian.

"Kalau aku sukanya sama kamu."

Tawa yang berusaha ditahan itu pun akhirnya lolos juga dari mulut Hani. Ia sama sekali tidak menduga kalau Rian akan menggombalinya dengan gombalan sereceh itu. Rian sendiri kini mulai mengupas apel yang diinginkan oleh Hani.

"Mana ponselmu, Mas? Boleh kupinjam untuk mengambil foto?" Hani meminta izin.

Rian pun langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan menyerahkannya kepada Hani. Hani langsung mengambil foto Rian yang sedang mengupas apel, lalu menjadikannya status pada WhatsApp milik pria itu.

"Kamu sedang apa?" tanya Rian.

"Sedang membuat status di WhatsApp milikmu, Mas. Biar Mika, Tari, atau yang lainnya bisa lihat," jawab Hani.

Rian mencoba mengulum senyumnya sambil memotong-motong apel sebelum ia menyuapi Hani.

"Apa captionnya?"

"Captionnya, 'Putri Salju sedang dikupaskan apel yang tidak beracun'," Hani menjawab dengan jujur.

Rian pun tertawa saat mendengar jawaban Hani, lalu mulai menyuapi apel ke mulut wanita itu. Ponsel Rian yang kini diletakkan oleh Hani pada meja di samping tempat tidur itu pun berdering tak lama kemudian. Rian meraihnya dan melihat ada pesan yang masuk dari Mika.

"Ini dari Mika. Dia bilang, 'Apelnya memang tidak beracun, tapi mulutmu yang beracun! Enggak usah pamer kemesraan sama Mas Rian! Kalian belum sah!', begitu katanya," Rian menyampaikan secara utuh mengenai isi pesan itu.

Hani pun meminta ponsel Rian kembali, lalu mengetik pesan balasan untuk Mika dengan cepat. Rian kembali menyuapi apel ke mulut Hani, setelah wanita itu selesai membalas pesan dari Mika.

"Kamu kok sering banget berantem sama Mika, sih? Padahal Mika itu selalu baik loh, sama kamu," heran Rian.

"Siapa yang enggak tahu kalau Mika itu baik, Mas? Semua orang tahu kalau dia adalah pria yang baik. Cuma dia itu punya sifat nyebelin tingkat dewa yang sering membuat aku naik darah. Jangankan aku, sih, Ziva dan Tari pun kadang sering naik darah kalau sudah bicara dengan Mika. Ibaratanya, Mika bisa terkena demam jika tidak membuat aku, Ziva, dan Tari naik darah," jelas Hani.

Rian pun tertawa pelan usai mendengar penjelasan yang Hani berikan.

"Jadi kalau Rasyid dan Raja tidak pernah membuat ulah, ya, selama ini?"

"Mereka berdua tipe pria yang lebih suka bicara seperlunya. Mereka banyak bicara hanya pada pasangan masing-masing. Lebih jelasnya, mereka sebucin itu kepada Tari dan Ziva, sehingga hanya bisa banyak bicara pada mereka berdua."

"Hm ... kalau aku gimana? Menurutmu, aku ini tipe pria yang seperti apa?" Rian ingin tahu.

Wajah Hani seketika memerah saat mendengar Rian menanyakan hal itu. Hani kini kebingungan ingin menjawab apa, karena ia tidak pernah berusaha menilai sikap Rian selama mereka saling mengenal.

"Kok diam? Apa seberat itu bagi kamu untuk menjawab pertanyaanku? Hm?"

"Aku bingung mau jawab apa, Mas. Masalahnya, aku enggak pernah berusaha menilai sikap Mas sejak awal kita kenal. Aku takut salah bicara," ungkap Hani dengan jujur.

Wanita itu kemudian meringis karena perutnya mendadak terasa sakit lagi seperti tadi. Rian pun langsung kehilangan senyumnya dan ekspresinya berganti dengan ekspresi khawatir.

"Kenapa, Han? Yang mana yang sakit? Mau aku panggil Dokter biar dia memeriksa keadaanmu?" tanya Rian.

Enggak, Mas. Enggak usah. Mungkin ini terasa sakit lagi karena aku barusan sedikit bergeser dari posisiku sebelumnya," jawab Hani.

"Tapi itu tandanya kamu perlu ditangani, Han. Kalau hanya bergeser saja kamu bisa merasakan sakit sekali seperti itu, artinya keadaanmu tidak baik-baik saja," ujar Rian.

"Aku akan coba tahan, Mas. Aku akan coba."

Rian kembali menggenggam tangan Hani dengan erat, agar wanita itu bisa kembali tenang di tengah rasa sakitnya yang kembali kumat. Ia benar-benar tidak tega karena harus menyaksikan betapa tersiksanya Hani dengan rasa sakit itu. Rasa marah yang tadi sempat hilang kini kembali lagi tanpa bisa dicegah. Membuatnya segera mengirim pesan pada Mika secara diam-diam tanpa sepengetahuan Hani.

"Han," panggil Rian.

"Iya, Mas?" sahut Hani lirih, akibat menahan rasa sakitnya.

"Aku gelisah terus sampai saat ini, bahkan setelah aku ada di samping kamu. Aku khawatir dengan keadaanmu. Aku terus merasa takut akan terjadi sesuatu padamu," ungkap Rian.

Mendengar hal itu, Hani jelas jadi merasa bersalah terhadap Rian. Hidup Rian jadi tidak tenang karena apa yang menimpa dirinya hari itu.

"Mas ... maaf ya, karena aku sudah membuat perasaan Mas jadi tidak enak. Aku benar-benar menyesal karena kejadian ini harus terjadi. Aku harap ...."

"Maukah kamu menikah denganku hari ini juga, Han?" potong Rian dengan cepat.

Hani pun terkesiap dan hanya bisa menatap lurus ke arah wajah Rian.

"Kita menikah secara agama di sini, lalu akan kita resmikan di catatan sipil saat kembali ke Jakarta. Aku ingin sepenuhnya memiliki hak atas diri kamu, sehingga aku bisa merawatmu tidak hanya sebatas menungguimu seperti ini. Aku ingin merawatmu sepenuhnya sampai sembuh dan tanpa ada batasan yang menghalangi," jelas Rian, berusaha meyakinkan Hani.

* * *

TELUH TANAH KUBURWhere stories live. Discover now