15 | Keterangan Hani

876 93 8
                                    

Mika membawa Hani keluar dari rumah Ardit setelah membuka semua tali yang mengikat di tubuh wanita itu. Hani tidak lupa meraih kepingan-kepingan ponselnya dari lantai, karena ia masih berharap agar ada data-data yang bisa diselamatkan dari sana. Mika membawa Hani menaiki taksi online yang sejak tadi sudah menunggu, lalu pergi dari area blok B perumahan tersebut.


"Maaf ya, Han, aku harus ambil fotomu dari semua sisi," ujar Mika.

"It's okay, Mik. Ambil saja," jawab Hani, sambil menahan tangisnya.

Mika juga sudah mengambil foto saat Hani masih disekap di rumah Ardit. Semua foto itu sudah ia kirimkan pada Tari agar bisa dijadikan bukti saat akan meringkus Ardit nantinya.

"Mau telepon Mas Rian, Han? Mau kasih kabar kalau ponselmu hancur total begitu?" tawar Mika, yang terus mendampingi Hani.

Airmata Hani akhirnya luruh setelah sejak tadi wanita itu berusaha menahan diri agar tidak menangis. Mika mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan menyodorkannya pada Hani.

"Sabar ya, Han. Maaf kalau akhirnya kamu harus mengalami peristiwa menakutkan seperti tadi. Andai aku tahu kalau kamu akan disekap oleh Pak Ardit dan rekannya, aku enggak akan biarin kamu pergi sendirian menemui dia," bujuk Mika, dengan lembut.

"Ka--kamu e--enggak sa--salah, Mik. Ka--kamu juga ... sedang me--menjalankan tu--tugasmu," balas Hani, terbata-bata akibat tangisannya.

"Han ...."

"Mik," potong Hani dengan cepat. "Aku cuma butuh kamu mendengarkan aku saat ini, Mik. Please."

"Oh, oke. Insya Allah aku akan dengarkan kamu, aku enggak akan menyela sedikit pun," janji Mika.

Hani menyeka airmatanya dengan sapu tangan yang tadi disodorkan oleh Mika. Mika kini benar-benar diam dan hanya menantikan Hani berbicara. Bagi Mika, Hani adalah salah satu sahabat wanita yang paling sulit untuk dihadapi, jika dibandingkan dengan Ziva atau Tari. Ziva lebih suka diam dan memikirkan masalahnya sendiri jika ada masalah, sementara Tari lebih suka mengomel atau marah pada inti dari masalah yang dia hadapi. Beda halnya dengan Hani. Hani lebih sering menangis lebih dulu jika sedang ada masalah. Ketika selesai menangis, barulah dia akan mulai menceritakan mengenai poin penting dalam masalahnya. Maka dari itu, Mika selalu berusaha lebih sabar ketika sedang menghadapi Hani.

"Jadi awalnya tadi, aku bertanya-tanya sama tetangga di perumahan itu soal di mana rumah Pak Ardit, setelah Ziva memintaku menemui Pak Ardit untuk menanyakan soal air yang kita butuhkan. Akhirnya aku menemukan rumah itu setelah mencari-cari. Kebetulan saat itu pagar rumahnya tidak ditutup, ya aku pikir pagar itu tidak ditutup karena memang Pak Ardit ada di dalam rumahnya. Aku berjalan akhirnya menuju pintu dan saat aku mau mengetuk pintunya, aku dengar suara orang berdebat di dalam rumah itu," ujar Hani.

"Lalu kamu batal mengetuk pintu dan mendengarkan isi perdebatan Pak Ardit dan rekannya itu?" tebak Mika.

Hani pun mengangguk sambil berusaha menahan airmatanya agar tidak mengalir lagi.

"Aku memilih mendengarkan perdebatan itu karena Pak Ardit membahas soal kita yang tengah mencoba menangani para korban, Mik. Rekannya itu mengatakan pada Pak Ardit, bahwa seharusnya Pak Ardit menyesatkan kita saat menjemput di bandara tadi, bukan malah mengantar kita ke rumah para korban. Rekannya itu tidak mau rencananya gagal. Dia mau para korban tetap sakit dan menderita seperti yang terjadi saat ini. Itu yang aku dengar dan membuat aku tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut," jelas Hani, sambil menyeka airmatanya lagi.

Mika kini merasa kesal saat mendengar apa yang Hani sampaikan mengenai isi perdebatan antara Ardit dan rekannya. Pria itu ingin sekali meluapkan emosinya, namun Hani lebih membutuhkan dirinya yang sedang dalam keadaan tidak emosional.

"Jadi sudah sejak awal dia memang mau membuat kita tersesat, hah?"

"Iya, Mik. Maka dari itu aku terus mendengarkan perdebatan mereka. Jadi dari yang aku tangkap, rekannya Ardit ini punya dendam terhadap tiga orang Polisi yang ada di dalam ketiga keluarga itu, alias si kepala keluarga. Dia bilang sama Pak Ardit, 'aku dipecat gara-gara mereka bertiga dan Pak Aksan sama sekali tidak menyelidiki masalahnya dengan benar. Sekarang mereka akan naik pangkat dan Pak Aksan mendukung kenaikan pangkat itu. Aku enggak bisa terima dan menurutku mereka bertiga harus menderita seumur hidup, agar bisa membayar rasa sakit hatiku'. Itu yang aku dengar dari rekannya Pak Ardit, Mik."

"Terus, sangkut pautnya sama Pak Ardit apa? Kenapa Pak Ardit mau membantu dia?" tanya Mika.

"Itu juga dia bahas tadi saat berdebat, Mik. Dia bilang pada Pak Ardit, 'kamu harus bantu aku, seperti bagaimana dulu aku membantu kamu untuk bisa masuk ke kepolisian. Kamu harus balas budi, dan dengan cara mendukungku yang memberi teluh pada mereka, maka akan kuanggap hutang budi itu lunas'. Begitulah sangkut pautnya, Mik. Mereka memang rekanan sejak awal karena ada yang berhutang budi dan harus membalas budi," jawab Hani.

Rasa kesal di dalam dada Mika semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar ingin sekali meninju wajah Ardit jika bertemu dan ada kesempatan.

"Dia jago akting loh, Han. Di depan Rasyid yang datang ke rumahnya, dia bertingkah seakan tidak ada apa-apa sama sekali. Gila betul! Tidak habis pikir aku sama Pak Ardit. Seakan polos, padahal berduri," umpat Mika.

Hani kembali menangis. Mika pun kembali menghiburnya. Mobil itu terus berjalan menuju ke rumah sakit di daerah Riau. Mika ingin Hani melakukan visum agar bisa memberatkan Ardit dan rekannya ketika ditangkap, nanti.

"Sekarang coba bilang, bagaimana kejadiannya ketika akhirnya kamu ketahuan oleh mereka sedang mendengaran perdebatan itu?" pinta Mika.

"Mereka sadar ada seseorang di luar pintu rumah karena sepertinya bayanganku terlihat di bawah celah pintu. Aku juga lupa bersembunyi karena lebih fokus mendengarkan perdebatan itu. Mereka mendadak membuka pintu, Mik. Mereka langsung menarik paksa tubuhku, padahal aku sudah berusaha untuk lari. Mereka menyeretku ke dalam rumah itu. Rekan Pak Ardit menamparku hingga kepalaku terbentur di dinding. Pelipisku ini sampai berdarah meski hanya sedikit. Dia menamparku karena aku menolak memberikan ponselku. Dia tahu kalau aku merekam perdebatan itu, Mik. Maka dari itulah aku langsung membanting ponselku ke lantai hingga hancur berkeping-keping begini. Dia marah, lalu menendang perutku dengan keras beberapa kali, bahkan saat aku sudah terkapar di lantai. Rasa sakitnya masih bisa kurasakan, Mik. Aku enggak bisa lupa," ungkap Hani, dengan tangisan yang semakin terdengar memilukan.

Taksi online itu akhirnya tiba di rumah sakit. Mika membayar ongkos dan secara membawa Hani ke UGD. Ia meminta pada perawat agar Hani segera divisum. Ponsel milik Hani kini ada di tangan Mika dan pria itu mencoba memperbaikinya agar semua data di dalamnya bisa diselamatkan. Karena satu-satunya bukti kuat yang Hani miliki ada di dalam ponsel itu.

* * *

TELUH TANAH KUBURWhere stories live. Discover now