14 | Disekap

794 91 1
                                    

Tari berusaha menghubungi Aksan seperti yang Ziva minta. Ia menunggu dengan sabar saat mendengar nada sambung yang tersambung ke seberang sana. Ia menjauh dari siapa pun, agar tidak perlu ada yang mendengar dirinya menghubungi Aksan.


"Halo, assalamu'alaikum Mbak Tari," sapa Aksan, saat akhirnya mengangkat telepon.

"Wa'alaikumsalam, Pak Aksan. Maaf Pak, kalau boleh tahu Bapak sedang berada di mana saat ini dan apakah Bapak sedang sibuk?" tanya Tari.

"Saya sedang tidak sibuk, Mbak Tari. Hanya saja memang tadi ada pertemuan mendadak dengan beberapa orang yang harus saya berikan arahan. Memangnya ada apa, Mbak Tari? Tadi ajudan saya yang bernama Ardit sudah menawarkan diri untuk mendampingi seluruh anggota tim Mbak Tari selama saya tidak bisa ke sana," jawab Aksan.

"Pak Ardit bilang pada kami bahwa hari ini anda sedang sibuk, sehingga tidak bisa datang untuk mendampingi kami di sini. Berarti Pak Ardit berbohong soal kesibukan Pak Aksan itu?"

"Ardit bilang begitu pada kalian? Untuk apa dia bilang begitu? Dia tahu kok, kalau saya hari ini tidak ada kesibukan. Tunggu dulu, apakah sekarang di sana terjadi masalah Mbak Tari?" duga Aksan.

Tari pun segera menarik nafas dalam-dalam demi menahan gejolak emosinya, setelah tahu bahwa Ardit memang berbohong soal Aksan yang katanya sedang sibuk. Ia merasa harus tetap bisa tenang, jika ingin Hani bisa segera ditemukan dalam keadaan baik-baik saja.

"Begini Pak Aksan, saat ini memang sedang ada masalah di sini. Salah satu anggota tim kami menghilang mendadak setelah sebelumnya diminta untuk menemui Pak Ardit," jawab Tari.

"Hilang? Salah satu anggota tim Mbak Tari benar-benar hilang? Bagaimana bisa sampai hilang begitu, Mbak Tari?" Aksan terdengar kaget.

"Awalnya kami meminta anggota kami tersebut untuk bertanya pada Pak Ardit, apakah air dalam jumlah banyak yang kami butuhkan sudah tersedia. Namun sampai sekarang anggota kami tersebut tidak kembali dan ponselnya justru mendadak mati, padahal sebelumnya dia tidak pernah mematikan ponsel saat bekerja. Kami mencurigai bahwa Pak Ardit adalah dalang di balik hilangnya salah satu anggota kami tersebut, karena Pak Ardit adalah orang terakhir yang dituju olehnya sebelum menghilang. Entah apa motifnya, tapi bisa jadi Pak Ardit ada hubungannya dengan kejadian sakit mendadak yang dialami oleh ketiga keluarga yang sedang kami tangani saat ini. Jadi, apakah Pak Aksan bisa datang ke sini sekarang juga tanpa memberi tahu Pak Ardit? Anggota tim kami yang lain juga sedang mencoba mencari keberadaan Pak Ardit sekarang. Namun sebisa mungkin tidak berupaya membahas soal hilangnya salah satu anggota kami tersebut, agar dia tidak menduga bahwa kami mencurigainya," jelas Tari.

"Baiklah kalau begitu, Mbak Tari. Saya akan datang ke sana tanpa memberi tahu Ardit seperti yang Mbak Tari inginkan. Saya juga ingin tahu bagaimana responnya saat melihat saya datang tanpa bilang-bilang."

"Terima kasih banyak, Pak Aksan. Oh ya, Pak, satu hal lagi. Jika Bapak tiba di sini nanti, tolong langsung saja menuju ke rumah 7F, 8F, atau 9F. Anggota kami selalu stand by di sana dan akan memberi penjelasan lebih detail pada Bapak. Entah itu mengenai kasus yang sedang kami tangani, maupun mengenai kecurigaan kami pada Pak Ardit," pinta Tari.

"Baik, Mbak Tari. Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum," pamit Aksan.

"Wa'alaikumsalam, Pak Aksan."

Rasyid akhirnya bertemu dengan Ardit yang baru saja keluar dari rumahnya. Ardit tampak sedikit kaget saat melihat kemunculan Rasyid saat itu, karena sebelumnya ia sama sekali tidak pernah memberi tahu yang mana rumahnya pada salah satu dari anggota tim yang tadi dijemputnya.

"Mas Rasyid? Kok bisa ada di sini?" tanya Ardit.

"Tadi aku bertanya-tanya pada warga perumahan di sini tentang di mana rumah Pak Ardit. Mereka menunjukkan padaku bahwa di sinilah rumah Pak Ardit. Jadi aku segera datang ke sini, karena anggota tim kami butuh mengajukan beberapa pertanyaan pada Pak Ardit yang sudah ditunjuk menjadi pendamping kami hari ini," jawab Rasyid.

"Oh, begitu rupanya. Baiklah, kalau begitu mari kita kembali ke lokasi secepatnya," ajak Ardit, yang tampak tidak ingin kalau Rasyid sampai masuk ke teras rumahnya.

Di dalam rumah itu, Hani dikurung dalam sebuah kamar dan diikat sangat kuat sehingga tidak bisa melarikan diri. Mulutnya dilakban berkali-kali, untuk mencegah wanita itu berteriak dan berisiko didengar oleh tetangga. Hani mendengar suara Rasyid yang barusan berdiri di halaman rumah itu. Ia mengerang keras-keras, berupaya meminta pertolongan pada Rasyid. Namun kemungkinan Rasyid tidak bisa mendengar suara erangan Hani, karena mulut Hani dilakban dengan rapat. Hani sudah putus asa saat itu, ia hanya bisa menatap ponselnya yang kini sudah hancur berkeping-keping di lantai kamar tersebut.

Rasyid mengirim pesan pada seseorang setelah keluar dari halaman rumah Ardit. Ardit melirik ke arah ponsel Rasyid, namun sayang ia tak bisa melihat apa yang sedang dilakukan oleh pria itu karena layar ponsel Rasyid sangatlah gelap. Setelah selesai mengirim pesan, Rasyid kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku.

"Ada masalah, Mas Rasyid?" tanya Ardit.

"Tidak ada, Pak Ardit. Barusan aku hanya membalas pesan dari Istriku," jawab Rasyid.

"Oh, Mas Rasyid sudah menikah? Wah, masih muda tapi sudah memutuskan membangun rumah tangga, ya?" Ardit berupaya terdengar antusias.

"Iya, Pak Ardit. Daripada berpacaran, aku lebih memilih langsung menikah ketika sadar bahwa hatiku memiliki perasaan lebih terhadap Istriku. Kami sama-sama berusaha menghindari terjadinya fitnah dari banyak pihak."

Setelah Ardit dan Rasyid berbelok di ujung blok, Mika pun keluar dari tempat persembunyiannya di dalam taksi online yang dipesannya dan segera masuk ke halaman rumah Ardit. Pesan dari Rasyid mengatakan bahwa dirinya mendengar suara erangan yang samar ketika berada di halaman rumah Ardit. Ia melupakan soal tugasnya untuk mencari minyak tanah yang Ziva minta, dan lebih memilih membantu Rasyid lebih dulu untuk menemukan Hani. Mika membuka kunci pintu rumah Ardit menggunakan kawat yang selalu ada di dalam tas kecilnya. Pintu itu terbuka dengan sangat mudah dan membuatnya segera memasuki rumah itu tanpa hambatan.

Benar saja, Mika juga langsung mendengar suara erangan yang disertai isak tangis dari sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari pintu depan. Ia segera membuka pintu kamar itu dan mendapati Hani yang terikat hampir di sekujur tubuhnya.

"Astaghfirullah, Han!" seru Mika, yang kemudian langsung membuka lakban berlapis-lapis dari mulut Hani.

"Dia tidak sendiri, Mik! Dia punya rekan!" seru Hani, ketika mulutnya sudah terbebas dari lakban.

"Kita bicarakan itu nanti, ya. Ayo, kita harus segera pergi dari sini sebelum dia atau rekannya yang kami sebutkan itu kembali lagi ke sini," ujar Mika, berusaha membuat Hani tenang.

* * *

TELUH TANAH KUBURWhere stories live. Discover now