7 | Mengawasi

983 111 12
                                    

Mini bus itu akhirnya tiba di depan perumahan yang dihuni oleh para anggota kepolisian. Rumah-rumah yang ada di sana semua terlihat hampir sama persis mulai dari model bangunan hingga ukurannya. Yang membedakan antara rumah satu dengan rumah lainnya adalah warna-warna cat tembok serta bagaimana teras dan halaman dihias oleh masing-masing pemiliknya. Mini bus itu masih melaju hingga melewati beberapa blok paling depan dari perumahan tersebut. Rumah ketiga keluarga yang mereka tuju tampaknya terdapat di blok E atau blok F.


"Sebentar lagi kita akan sampai," ujar Ardit, memberi tahu yang lain agar bisa bersiap-siap.

Setelah mendengar hal itu, Tari pun langsung meraih Batagor ke dalam gendongannya. Rasyid meraih semua tas yang ada di bawah kakinya agar bisa segera dibawa turun ketika mereka tiba.

"Nanti kalian akan menempati rumah yang letaknya tepat berada di depan rumah ketiga keluarga itu. Di situ adalah satu-satunya rumah kosong yang tersedia di perumahan ini dan sengaja tidak diisi untuk keadaan darurat," lanjut Ardit.

"Ada masjid di dekat lokasi itu, Pak Ardit?" tanya Mika.

"Ada. Tapi harus berjalan keluar dari blok lebih dulu untuk sampai ke masjid itu."

"Tidak masalah, Pak Ardit. Intinya kami tidak boleh melewatkan satu waktu shalat pun meski sedang bekerja," tanggap Rasyid, terdengar begitu tenang.

Mini bus itu akhirnya berhenti tepat di depan rumah kosong yang akan ditempati oleh mereka berenam. Tatapan mata Ziva dan Raja sudah jelas langsung terarah kepada ketiga rumah yang ada di depan rumah kosong itu. Semua barang tengah diturunkan dari mini bus, namun mereka berdua hanya diam saja karena sedang mengawasi semua makhluk halus yang memenuhi area atap, halaman, dan juga teras yang sedang mereka tatap. Koper milik Ziva dan Raja diambil oleh Mika agar bisa dibawa masuk, sementara Ardit saat ini sedang berbicara dengan Rasyid sambil mengawasi gerak-gerik Ziva dan Raja.

"Kenapa mereka berdua langsung diam seperti itu saat kita tiba, Mas Rasyid?" tanya Ardit.

"Mereka sedang mengawasi makhluk halus yang mungkin sedang berkeliaran pada ketiga rumah korban, Pak Ardit. Abaikan saja. Itu memang tugas mereka sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan melihat yang tak kasat mata," jawab Rasyid, apa adanya.

"Ma--maksud Mas Rasyid ... mereka itu ...."

"Indigo, Pak Ardit. Ziva dan Raja memang seorang indigo. Mari, sebaiknya Pak Ardit ikut denganku dan Hani untuk memeriksa hal-hal yang Ziva inginkan," ajak Rasyid, agar Ardit tidak terlalu sering merasa heran.

Tari dan Mika mendekat pada Ziva dan Raja tak lama kemudian. Batagor tidak mau ikut dengan Tari, kucing manis itu memilih bermain-main di teras rumah yang akan mereka tempati malam nanti. Hal itu jelas membuat Tari merasa sedikit lega, karena ia tidak perlu mengawasi Batagor saat sedang menghadapi pekerjaan.

"Apa yang sedang kalian awasi saat ini?" tanya Tari.

"Entah kamu percaya ataupun tidak, saat ini semua makhluk halus yang biasanya berkeliaran di tempat-tempat khusus kini sedang memenuhi ketiga rumah keluarga itu," jawab Raja.

"Tempat-tempat khusus? Maksudmu ... pemakaman atau hutan belantara?" tanya Mika.

"Belum bisa kami pastikan, Mik. Intinya saat ini semua makhluk-makhluk itu terus saja berusaha menempati ketiga rumah tersebut," jawab Ziva.

Raja kini tampak menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Ngomong-ngomong, mana Batagor?" tanya Raja, saat tidak menemukannya di sekeliling Tari ataupun Mika.

"Masih digoreng sama yang jual," jawab Mika, asal.

Tari dan Ziva pun langsung mendelik seketika, lalu melayangkan tatapan sebal mereka ke arah Mika.

"Bukan batagor betulan yang aku tanyakan, Mik. Batagor anabulnya Tari dan Rasyid yang aku tanyakan," omel Raja, terdengar sedikit frustrasi terhadap Mika.

Mika pun terkikik geli selama beberapa saat usai sukses membuat Raja naik darah.

"Sudah, Ja, jangan dilanjutkan omelanmu sama Mika. Mika memang sedang stress gara-gara terus-terusan ditanya kapan mau memperkenalkan calon Istri oleh kedua orangtuanya. Kalau kamu tanggapi, nanti kamu akan ketularan stress kaya dia," saran Tari, membalas Mika dengan caranya sendiri.

Ziva pun tertawa lepas tanpa bisa menahan diri, usai mendengar apa yang Tari umumkan soal persoalan hidup Mika secara terbuka. Raja pun memilih bungkam dengan cepat sambil menahan-nahan tawanya. Ia jelas tidak mau dimusuhi oleh Mika hanya karena ada satu saja tawa yang lolos dari mulutnya. Wajah Mika sendiri tentu saja terlihat sangat nelangsa sekarang, namun Tari tampaknya tidak peduli akan hal itu dan justru semakin sengit menatap ke arah pria tersebut.

"Astaghfirullah, Tar. Apakah segitu berharganya Batagor untuk kamu, sehingga kamu dengan tega membuka aibku di depan Raja dan Ziva? Aku ini sahabatmu sejak masih SMA, Tar. Apakah aku tidak bisa sekali saja menempati posisi Batagor di dalam hidupmu, Tar?" tanya Mika, memelas.

"Enggak bisalah! Mana bisa kamu menempati posisi Batagor di dalam hidupku, sementara kamu bukan kucing. Mengurus Rasyid saja sudah bikin aku sering kehabisan tenaga, apalagi kalau ditambah dengan mengurus satu manusia lagi yang modelnya macam kamu. Ugh! Hidupku jelas akan menjadi sangat kacau meski balon hijau tidak meletus," jawab Tari, sangat jujur.

Ziva kini langsung bersandar pada pundak Tari sambil berusaha menghentikan tawanya.

"Lagi pula untuk apa kamu mau menempati posisinya Batagor, Mik? Apakah hanya untuk menghindari pertanyaan dari kedua orangtuamu yang terus menanyakan hilal jodohmu?" tanya Ziva.

"Kalau kamu sudah tahu apa tujuanku bertanya pada Tari, kenapa juga harus kamu tanyakan kembali?" gemas Mika, terhadap Ziva.

"Masalahnya tidak lama lagi Batagor juga akan menemukan pasangan hidupnya, Mik. Tari dan Rasyid jelas akan mengawinkan dia dengan kucing jantan yang mereka pilih, agar Batagor bisa memiliki keturunan," ujar Raja.

Wajah Mika kini semakin tampak dipenuhi dengan gurat-gurat kekecewaan, usai tahu kalau Batagor akan menjadi korban kawin paksa oleh Tari dan Rasyid.

"Gimana kalau kamu ikuti saja jalan hidup Batagor, Mik? Enggak usah repot-repot cari hilalnya jodohmu. Kamu minta dijodohkan saja sama kedua orangtuamu, pasti mereka akan dengan senang hati menyodorkan banyak calon ke hadapanmu," saran Tari.

"Ogah! Setelah melihat bagaimana pengalaman Ziva ketika dijodohkan dengan Gani, aku langsung mencoret kemungkinan untuk menikah melalui perjodohan!" tolak Mika dengan keras.

"Idih! Istriku yang gagal dijodohkan, kok malah kamu yang jadi trauma?" heran Raja.

Ziva segera merangkul lengan Raja yang masih tampak tak habis pikir dengan jalan pikiran Mika.

"Sabar saja, Kakanda Rajaku. Begitulah sifat Mika yang sebenarnya dan selalu dia sembunyikan," ujar Ziva, mencoba membuat Raja maklum terhadap Mika.

Mika tampak gantian mendelik sekarang, setelah mendengar Ziva berbicara.

"Hah? Kamu memanggil Raja apa, Ziv? Kakanda Rajaku? Astaghfirullah ... bucin, bodoh, atau bagaimana kamu, hah? Bisa-bisanya kamu memanggil Raja dengan panggilan senorak itu!" omel Mika.

Raja jelas kembali naik darah usai mendengar Mika menyebut bahwa panggilan 'Kakanda' itu norak dimatanya. Pria itu jelas ingin membalas, namun ia membalas dengan cara yang paling halus agar Mika semakin kesal di posisinya.

"Iya, Adinda Zivaku. Aku akan berupaya memahami Mika meski sejujurnya aku tidak pernah paham dengan isi pikirannya," balas Raja, sambil menggenggam kedua tangan Ziva dengan dramatis.

Mika langsung berkacak pinggang dalam sekejap sambil menatap ke arah Tari.

"Tar, coba kamu nasehati dulu Adik iparmu beserta Suaminya itu. Bilang sama mereka berdua bahwa ini bukan lagi zaman kerajaan Majapahit, jadi tidak perlu memanggil pasangan dengan panggilan Kakanda-Adinda," titah Mika.

Tari pun langsung membuang mukanya ke arah lain, tepatnya ke arah di mana Rasyid berada saat itu.

"Kang Mas Rasyid ... tunggu aku!" seru Tari, justru mencontohkan panggilan yang lebih gila lagi daripada panggilan yang digunakan oleh Raja dan Ziva.

* * *

TELUH TANAH KUBURWhere stories live. Discover now