32

254 21 1
                                    

Aira menatap sang ayah yang tengah berbaring tengkurap dengan lemas, ia mengalihkan matanya melihat sang ibu yang memijat punggung sang ayah. Mengangkat alis dengan heran, gadis itu bertanya.

"Ayah kenapa?"

Naira mendengus dingin, menampar keras punggung sang suami menciptakan suara tamparan yang cukup keras.

"Ayahmu ini, udah tau sudah berumur malah main basket. Encoknya kan kambuh jadinya." ucap Naira, kembali memijat pelan pinggang dan pergelangan kaki sang ayah.

Aira mengerutkan keningnya, membayangkan ayahnya bermain basket dengan liar, tak ingat sudah umur berapa. Jika diingat kemarin sang ayah pulang dengan di papah oleh Daniel, yang tidak mengatakan sepatah katapun, hanya menurunkannya di sofa ruang tamu setelah itu bergegas pergi.

Aira geleng-geleng kepala, ternyata itu alasan ayahnya di papah. Aira semakin mengerutkan keningnya, melihat paman Reynard baik-baik saja, kemungkinan besarnya adalah bahwa sang paman hanya menonton dari pinggir. Aira menghela nafas, setidaknya paman si pirang masih ingat umur. Gadis itu tak bisa membayangkan, dua pria dengan usia hampir setengah abad itu bermain basket tanpa mengingat kondisi tubuhnya.

"Juga ayahmu, main ke Arcade kemarin." Aira melotot mendengar pernyataan itu.

"Hah?! Apa?"

Serius?! Yang benar saja?!

"Bukannya kemarin, ayah pergi keluar dengan Paman Daniel? Gak mungkin kan?! Ayah sama paman main di Arcade??"

Tidak ada jawaban dari sang ayah, hanya tawa lemah.

"Aaaa! Ayah! Ingat umurmu!!" Pipi Aira merona malu. Dia tak bisa membayangkannya, apakah ayahnya sudah hilang urat malunya?

Naira geleng-geleng kepala, "Sudahlah, biarkan ayahmu istirahat."

"Ayahmu hanya mengingat masa mudanya," kata Nathan, kemudian dia membenarkan posisi tubuhnya menjadi duduk.

Mencium pipi Naira dan mengucapkan 'terima kasih'. Sang kepala keluarga, berbalik pergi untuk kembali beristirahat ke kamar.

Naira sontak tersipu, sebelum sempat Nathan memasuki kamar mereka. Naira buru-buru berkata,"Sayang ingin makan apa nanti?"

"Apapun, yang ibu masak saja." Tanpa menghentikan langkahnya, Nathan memasuki kamar. Terdengar derit kasur, menandakan sang ayah kembali tertidur.

Aira memeluk sang ibu, bergelayut manja di lengannya.

"Duh...berat sayangku...!" Protes sang ibunda, Aira hanya cengengesan. Memeluk ibunya.

Dia membenamkan mukanya, memeluk erat sang ibu.

"Aku sayang ibu... banyak-banyak!!" Serunya dengan bahagia.

Naira tersenyum, wanita itu mengusap punggung sang putri.

"Iya..iya..udah nih, ibu mau buat sarapan untuk ayahmu. Beliin merica, telur 2 sama kecap sana di Pak Memet."

Melepaskan pelukan, Aira memasang sikap hormat.

"Siap! Uangnya mana?" Naira mengeluarkan uang 20rb, menyerahkannya kepada sang putri.

"Masih ada kembaliannya, Rp5.000 buat Aira aja."

"Oke!"

Mengambil uang dari sang ibu, gadis itu menyisir rambutnya hingga rapi. Berpamitan terlebih dahinya, dan langsung berjalan keluar melaksanakan perintah ibunda.

Hari yang damai dan tenang di rumah Aira.

***

Rumah itu nyaman, dan terlihat berbeda dengan rumahnya waktu kecil. Foto-foto tentang dirinya dan sang ibu berjejer rapi diatas rak, ada juga foto lama yang masih tetap setia berada didepan foto-fotonya.

Itu foto pernikahan, Kayana Ingat itu. Biasanya ibunya akan, menatap lamat foto tersebut. Teh yang disajikan masih mengeluarkan uap hangat.

Menatap cerminan versi dewasa dirinya, Kayana tersenyum sedikit. Matanya melihat dengan rinci, setelah itu menghela nafas lega. Syukurlah...dia benar-benar sangat bersyukur, bahwa sang ibu baik-baik saja dan masih sehat.

"Sudah lama ya..." Risa memulai dengan suara pelan, Wanita itu mengusap sisi cangkir yang hangat.

"Iya, bagaimana kabar ibu?" Tanya dan jawabnya, meminum sedikit isi cangkir.

"Baik, akhir-akhir ini semakin membaik."

Kayana diam-diam lega.

"Apa paman Daniel baik denganmu?"

Kayana mengangguk,"Paman merawat ku dengan baik."

Percakapan mengalir lancar selama beberapa jam, tak terasa mereka saling menceritakan keseharian. Hingga tiba saatnya, Risa harus menanyakannya.

"Yana, mau tinggal bersama ibu lagi?"

Suasana yang hangat agak cair, Risa dengan gugup memainkan benang bajunya yang keluar.

"Ya! Aku mau!" Itu tanggapannya.

Risa tersentak, tak menduga. Air mata mengalir tanpa disadari.

"Terimakasih. Terimakasih. Terimakasih."

Dengan tersedu-sedu, Risa meminta maaf, meminta maaf telah meninggalkan Kayana sendirian, meminta maaf karena dia tak cukup kuat untuk menangani sendiri.

Bersambung....

Reynard secara tiba-tiba dan iseng bertanya pada pamannya.

"Paman, seperti apa ayahku?"

Daniel melihat ponakannya sekilas, kemudian mengingat sesuatu tentang kakaknya.

"Jika kau bercermin, maka kau akan melihatnya. Beliau terlihat sepertimu saat remaja."

Mengerutkan keningnya,"Iya, aku tahu tapi seperti apa sifatnya? Aku ingin tahu seperti apa ayahku."

Meletakkan koran diatas meja, Daniel meminum teh hangatnya. Memandang  ke luar jendela, melihat jauh ke masa lalu. Wajahnya mengernyit, pikirannya melayang.  Tatapan matanya kosong.

Memandang Reynard, Sang paman berkata.

"Ini sudah larut, besok saja."

Setelah mengatakan itu, Daniel bangkit dari kursi kembali ke kamarnya.

Meninggalkan Reynard yang penasaran setengah hidup.





Stuck in Novel Where stories live. Discover now