Spesial

503 38 0
                                    

Aku menatap matanya yang hampa, kemudian menatap batu nisan yang terlihat baru. Kalimat itu tertulis jelas di atas batu nisan itu, air mengalir diantara lekukan kalimat, hujan turun... Aku meletakkan buket Lili putih yang harum. Kemudian melihat pemuda bermata kosong itu, sempat aku ingin bertanya siapa dia tapi aku lebih memilih membungkam mulutku.

"Dia orang yang luar biasa.." katanya pelan, aku terkejut sebentar tak menyangka bahwa dia kan memulai pembicaraan lebih dulu.

Aku menganggukkan kepala,"Kau benar.." jawabku tak berbohong. Dibawah batu nisan itu terletak raga kosong seseorang, seseorang yang luar biasa dan disayangi.

Payung ku buka, berdiri disampingnya aku merasa bersyukur bahwa payung itu cukup besar untuk kita berdua. Tapi pemuda itu tinggi, aku bahkan harus berjinjit untuk memayunginya.

Dia melihatku dengan mata hitam kusam ada bekas luka di bagian mata kirinya, bekas luka vertikal.

"Tapi dia juga seorang idiot." Tambahnya terdengar cukup kasar, aku setuju.

"Dia memang idiot..." Aku menjawab setuju.

"Tapi dia orang yang baik hati," lanjutku mengingat bagaimana pria tua itu selalu memberiku permen dan camilan manis, dan selalu mengelus rambutku saat aku sedih.

Pria tua yang sekarang sudah tiada hanya meninggalkan raga.

"Ya... Dia sangat baik, bahkan kebaikannya itu membunuhnya." Dia berkata sarkastik.

"Seperti itulah dia, lebih memilih untuk ikut masuk ke dalam jurang gelap menembus rasa penyesalan yang tidak diperlukan."

Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan pemuda itu. Dia melihat nisan itu, bunga-bunga segar masih mengeluarkan aromanya disertai dengan aroma hujan. Aku bertemu tatapannya sekali lagi.

"Bisakah aku menikmati hujan lebih lama."

Aku merasa itu bukan pertanyaan dan mengangguk, menyingkirkan payung darinya membuat hujan kembali membasahinya.

Jadi aku menemaninya, hingga hujan berhenti. Aku tetap disisinya, tanpa ada yang berbicara selama hujan berlangsung.

Tiba-tiba dia melihatku dan tersenyum tipis, matanya dipenuhi kesedihan dan kehampaan.

"Aku pergi." Ucapnya.

Kemudian dia berbalik hingga tak terlihat dari jangkauan pandangan ku, dan baru aku tersadar bahwa aku belum sempat bertanya siapa namanya. Sedikit berharap bahwa mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi.





Atau mungkin itu adalah kesalahanku, tiga bulan kemudian tubuhnya ditemukan mengapung di sungai. Dengan kulit yang pucat, dan bibir biru, bekas luka vertikal di mata kiri itu memang miliknya. Tubuhnya ditemukan tak berdaya dan seperti terlelap dengan damai, ada senyuman di mulutnya seolah dia hanya tertidur dan bermimpi indah.

Polisi menemukan secarik kertas di saku dadanya, bertuliskan 'sekarang aku akan menyusul mu.' karena hal tersebut membuat polisi menutup kasusnya, mengatakan bahwa itu bunuh diri. Aku bersedih, andai saja aku bisa berbicara lebih lama dengannya.

Tamat.

Pengen up, tapi masih ditulis ceritanya Aira. Jadi ini aja, short story.


















Stuck in Novel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang