31 - T R E I N T A Y U N O

7.8K 1K 63
                                    

Jeno mengetukkan ujung sepatunya di lantai marmer ruang tamu kediaman keluarga Lee. Sepasang jelaga nya mengedar ke sekitar, sedikit merasa heran karena tidak biasanya rumah megah milik kakeknya ini terlihat sepi. Biasanya akan ada banyak orang- mulai dari pekerja rumah hingga penjaga akan mondar-mandir melakukan pekerjaan mereka masing-masing.

Saat ini ia sedang menunggu kakeknya yang tengah mengadakan rapat bersama beberapa orang yang diketahuinya sebagai kolega bisnis dari kakeknya di ruang kerja pribadi milih sang kepala keluarga Lee.

Sudut mata lelaki itu melirik kearah pintu besar yang berada di ujung lorong. Dari posisinya sekarang, ia masih bisa melihat pintu kayu besar dengan ukiran rumit itu masih tertutup dengan rapat dan belum ada tanda-tanda jika pintu itu akan terbuka.

Jeno menghembuskan nafasnya jengah, ketukkan ujung sepatunya mulai terdengar membentuk sebuah melodi untuk mengisi keheningan yang melingkupi ruang tamu luas itu. Ia kembali mengecek arloji di pergelangan tangannya- yang entah sudah ia lakukan beberapa kali. Sudah hampir dua jam ia menunggu, namun nampaknya beberapa orang di dalam ruang kerja kakeknya itu enggan untuk mengakhiri pertemuan mereka.

Seharusnya ia pergi bersekolah saja bersama Mark, namun kakeknya itu menahannya. Mengatakan jika ada hal penting yang ingin kakeknya itu diskusikan dengannya. Jeno pun menurut, lagipula tidak datang ke sekolah juga bukan masalah baginya. Tapi justru kakeknya malah membuatnya mati kebosanan.

Suara derit pintu yang terbuka disusul dengan gumaman samar dari beberapa orang yang mulai keluar satu persatu dari ruang kerja Tuan Lee itu membuat Jeno menegakkan posisi duduknya. Ia menoleh, dan benar saja, para orang tua itu baru saja mengakhiri rapat dadakan mereka.

Jeno mengulum bibirnya, mengulas senyum sopan sebagai sebuah formalitas kepada para kolega kakeknya. Dapat Jeno tangkap sinyal dari sang kepala keluarga Lee yang menyuruhnya untuk menunggu sebentar lagi karena kakeknya itu harus mengantar rekan-rekannya sampai ke pintu utama. Selang beberapa menit, presensi sang kakek mulai kembali terlihat dan menghampiri Jeno.

"Kau menunggu lama?" Nampaknya Tuan Lee tidak perlu jawaban atas pertanyaannya barusan, karena ekspresi bosan Jeno sudah terpampang begitu jelas di wajah tampannya hingga membuat kekehan renyah lolos dari bibir yang lebih tua. "Maaf, kakek kira rapatnya tidak akan berlangsung selama itu. Tapi karena ada banyak hal yang harus dibahas, jadi malah semakin memakan banyak waktu."

"Memangnya apa yang kalian bicarakan?" Tanya Jeno penuh dengan rasa penasaran setelah kakeknya itu mendaratkan bokongnya pada single sofa didepannya, Tuan Lee berdeham sejenak, "kakek membahas soal perluasan bisnis properti, dan kakek juga berencana membangun cabang baru di luar negeri." Jelas sang kakek secara singkat. Sedangkan lelaki yang berusia jauh lebih muda hanya mengangguk kecil beberapa kali, tidak berniat bertanya lebih lanjut karena ia tidak tertarik dengan pembahasan bisnis.

Tuan Lee merogoh saku jas nya untuk mengambil kotak rokoknya, mengambil sebatang lalu mengamit ujung batang nikotin itu diantara belah bibirnya sebelum menyalakan ujungnya yang lain dengan pemantik miliknya. Jeno memperhatikan tiap gerakan yang dibuat sang kakek, melihat bagaimana pria yang sudah berusia senja itu mulai menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asap samar.

"Aku rasa kakek harus mengurangi mengonsumsi nikotin mengingat riwayat penyakit kakek."

Lalu setelahnya Tuan Lee tergelak begitu mendengar penuturan dari sang cucu yang terdengar ketus. "Akan ku pertimbangkan." Jeno mendengus, "kau berkata seperti itu juga minggu lalu." Balasnya yang membuat tawa Tuan Lee kembali pecah.

"Astaga, iya. Kakekmu ini akan mengurangi mengonsumsi rokok demi cucuku tersayang." Ujarnya sembari menjentikkan jarinya pada batang rokok miliknya diatas asbak untuk membuang abu yang menumpuk di bara rokok itu.

Nerd Alpha | NOMIN Where stories live. Discover now