DUA PULUH

411 113 7
                                    

Ini ke depan tinggal 3 atau 4 bab lagi ya. Cerita Ela dan Bangkit ini memang pendek hehehe tapi semoga cukup buat teman menunggu sebelum aku mengunggah cerita yang panjang. Follow Instagram ikavihara supaya kamu tahu kabar-kabar tentang apa-apa rencanaku ke depan terkait cerita baru. Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, aku seneng banget kemarin udah mulai balas-balasin dan baca komentar kamu.

Love, Ika Vihara(IG/Twitter/FB/Tiktok ikavihara, WA 083155861228)

***

"Sayang, apa kamu perlu ke kamar mandi?" Pintu kamarku terbuka setelah diketuk pelan. Mama datang membawa nampan berisi air minum, sepiring apel yang sudah dipotong, dan satu buku baru yang masih disegel. "Ada novel baru dari Sali."

"Nggak, Ma. Aku bisa ke kamar mandi sendiri nanti. Aku sudah biasa pakai kruk." Aku menunjuk kruk yang akan menjadi kakiku selama lebih dari sebulan ke depan.

"Andrei dan Papa akan memasang handle bar di kamar mandi siang ini. Supaya kamu tidak kesulitan saat ke kamar mandi. Mama tidak tahu apa yang dipikirkan pengembang apartemen, sampai tidak memikirkan hal sepenting itu. Apa mereka sengaja tidak menjual unit kepada orang dengan disabilitas?" Mama duduk di tepi tempat tidur dan membantuku duduk bersandar.

"Aku juga nggak kepikiran nyari apartemen yang ramah disabilitas, Ma. Baru sadar aku salah pilih apartemen waktu aku nggak bisa berdiri dengan dua kaki seperti ini." Aku mengunyah apel dari nampan di pangkuan Mama.

"Ada telepon dari lobi, Ma," kataku saat mendengar bunyi interkom di dapur.

"Kalau kamu memerlukan apa-apa, panggil Mama." Mama meletakkan nampan di nakas di samping tempat tidur dan berjalan meninggalkan kamar.

Nanti setelah aku masuk kerja lagi, bagaimana caranya aku berangkat dan pulang kantor? Apa harus selalu naik taksi online? Apa Sali mau menjemput dan mengantarku ke sini? Tetapi rumah Sali tidak searah dengan apartemenku dan kator. Aku tidak mau dia bangun lebih pagi hanya untuk menjemputku. Sambil mengunyah apel, aku memikirkan berbagai skenario memindahkan diriku dari satu tempat ke tempat lain tanpa merepotkan orang lain.

"Ela, ada temanmu yang ingin bertemu. Kamu mau menerima di sini atau di luar?"

"Temanku yang mana, Ma?"

"Laki-laki. Namanya Bangkit. Mama belum pernah ketemu."

"Tolong Mama sampaikan padanya aku sedang tidur. Aku nggak mau menemuinya. Dia bukan temanku." Teman? Setelah dia berniat membawaku makan malam bersama keluarganya dan mengenalkanku sebagai kekasihnya, sekarang dia menyebut dirinya temanku? Di depan ibuku? Benar-benar menggelikan.

"Bagaimana kalau kamu menemuinya sebentar di ruang tengah? Biar Mama tunggu di sini. Tadi Mama tanya dia ada perlu apa. Katanya penting. Mama bilang kamu perlu istirahat dan dia tetap memohon. Penting sekali katanya. Setelah ini, Mama janji tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu istirahatmu."

Aku menghela napas. Lebih baik bicara dengannya sekarang, saat tidak ada Papa dan Andrei—yang sedang pergi ke toko bahan bangunan—yang berpotensi mengacaukan segalanya. Lagi pula, tidak baik menunda-nunda menyelesaikan masalah. Paling tidak, kalau hubungan kami selesai, malam nanti aku bisa tidur nyenyak. Karena tidak lagi bertanya-tanya mengenai kejelasan hubunganku dengan Bangkit.

***

Bangkit duduk mematung di sofa, yang biasanya menjadi tempat kami berpelukan dan saling merayu sambil menonton film. Tidak ada senyum atau ekspresi apa pun di wajahnya saat dia melihatku berjalan pelan dan tertatih—dengan kruk—mendekatinya. Tatapan matanya kosong. Seperti tubuhnya saja yang berada di sini. Hatinya tidak. Aku duduk di kursi kayu dengan bantalan putih di seberang sofa. Jarak satu meja kopi di antara kami terasa seperti jarak antara Indonesia dengan Eropa. Meski secara fisik aku dan Bangkit berdekatan, bisa saling menyentuh, tapi secara emosi ... aku tidak bisa mengukurnya. Terlalu jauh.

"Maafkan aku karena baru menjengukmu sekarang." Tanpa mencium pipiku, tanpa menanyakan kondisiku, Bangkit memilih langsung menuju pokok permasalahan.

"Aku nggak akan memaafkanmu." Aku tidak bisa menyembunyikan amarah dalam suaraku. "Kamu punya waktu lebih dari seminggu untuk menjengukku dan kamu nggak melakukannya. Kamu nggak mau meluangkan waktu barang lima menit untuk mendatangiku saat aku tergeletak di rumah sakit. Kamu tahu itu artinya apa?"

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku melanjutkan. "Artinya kamu nggak mencintaiku seperti yang sering kamu katakan. Bahkan saat Sali mengatakan bahwa aku hampir mati di pinggir jalan, kamu nggak juga menemuiku. Kamu nggak peduli aku hidup atau mati, karena bagimu ... aku nggak berharga. So, no, you are not forgiven."

"Aku mengerti." Bangkit mengangguk.

"Bagus. Jadi sudah nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kalau kamu nggak keberatan, kepalaku pusing dan aku mau tidur." Tanganku meraih kruk yang kusandarkan di samping kursi.

"Ada lagi yang ingin kusampaikan, Ela."

Aku batal berdiri dan menunggu Bangkit kembali bicara.

"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita...."

Kali ini aku tertawa getir. "Kamu benar-benar nggak tanggung-tanggung ya saat menyakiti hati orang lain. Beberapa hari yang lalu kamu masih mengaku mencintaiku, ingin mengenalkanku kepada orangtuamu. Ingin menikah denganku. Sekarang, kamu nggak mau menunggu sampai aku sembuh untuk mencampakkanku. Cinta macam apa yang kamu bicarakan waktu itu?

"Kenapa baru hari ini kamu mengakhiri hubungan kita? Bukan langsung saat aku keluar dari ruang operasi? Atau sekalian waktu aku sedang sekarat di tepi jalan. Pasti akan lebih membahagiakan untukmu kalau kamu bisa mencampakkanku dan melihat aku mati."

"Ela, bukan seperti itu. Aku tidak pernah berharap kamu meninggal. Aku bisa menjelaskan alasannya. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku tidak bahagia dengan keputusanku. Kamu harus tahu...."

"Nggak perlu." Aku kembali memotong. "Aku nggak mau tahu. Aku nggak memerlukan penjalasan apa-apa lagi. Kalau kamu nggak ingin menyakitiku, kamu nggak akan melakukan ini padaku. Dengan datang ke sini hari ini ... kamu memang ingin membuatku semakin menderita. Aku menerima keputusanmu, beserta alasan apa pun di baliknya. Sorry, kakiku sakit dan aku nggak bisa mengantarmu sampai ke pintu. Have a nice life."

Aku berjalan secepat yang aku bisa menuju kamarku. Beberapa hari terakhir aku rajin mengeluhkan tulangku yang patah. Kalau tidak dibantu obat penghilang rasa sakit, aku tidak akan bisa bernapas. Tetapi sekarang, seluruh rasa nyeri yang timbul pascakecelakaan hingga hari ini, tidak bisa mengalahkan rasa pedih tak terperi yang muncul karena hatiku patah untuk kedua kali.

Kalau dulu, walau dengan susah payah, aku bisa menyatukan kembali hatiku yang porak-poranda, kali ini aku tidak yakin. I am strong enough to get over one broken heart. But I am not sure I could survive two.

"Ada yang sakit, Sayang? Bagian mana?" Mama menatapku khawatir begitu melihatku masuk ke kamar dengan berlinang air mata.

Hatiku! Hatiku sakit! Sangat sakit! Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, melepaskan semua kekecewaan yang kurasakan. Yang bertumpuk sejak aku bangun di ranjang rumah sakit dan tidak langsung melihat wajah Bangkit. Setelah berhari-hari mengharapkan Bangkit datang untuk memelukku, untuk mencintaiku, sekarang aku dihadapkan pada kenyataan tidak masuk akal seperti ini. Bangkit memang menemuiku, bukan untuk memastikan aku baik-baik saja, tetapi untuk menyingkirkanku dari hidupnya.

"Nggak ada apa-apa, Ma. Aku mau tidur sebentar. Nanti kalau Sali ke sini, tolong minta dia untuk masuk ke sini dan membangunkanku," kataku sambil memosisikan diri di tempat tidur. Seperti patah hati sebelumnya, kali ini aku akan melewatinya dengan tidur. Banyak tidur. Terserah dunia mau bergerak ke arah mana. Bagiku, bumi sudah berhenti berputar.

Betapa bodohnya aku, membiarkan diriku jatuh cinta lagi. Berharap kali ini akan berbeda. Bagaimana hasilnya akan berbeda, kalau aku mencintai dengan cara yang sama? Mencintai dengan sepenuh hati dan jiwaku, bahkan ketika aku ragu-ragu apakah Bangkit memiliki perasaan yang sama, cintaku kepadanya tetap sama besarnya. Sekarang aku harus menanggung konsekuensinya. Patah hati dan kehilangan. Kehilangan masa depan yang kubayangkan akan kulewati bersamanya. Dengan bahagia saling mencintai. In a relationship, the one who loves more, is the one who loses more.

***

Unexpectedly in LoveWhere stories live. Discover now