SEPULUH

462 121 4
                                    

"Tunggu sebentar." Bangkit bicara padaku tanpa suara. "Ibuku."

Aku mengangguk dan duduk di sampingnya.

"Malam ini aku tidak bisa, Ma. Minggu depan mungkin. Aku ada janji sama teman. Tidak tahu pulang jam berapa nanti. Ya ... lama, Ma. Jarang-jarang juga aku keluar."

Dengan jelas aku bisa menangkap apa yang sedang dibicarakan Bangkit dengan ibunya. Malam ini Bangkit tidak bisa ikut makan malam bersama, yang sepertinya sudah dijadwalkan rutin setiap hari Sabtu malam.

"Teman, Ma. Cuma teman. Iya, perempuan."

Teman. Sampai hari ini memang aku masih berteman dengan Bangkit. Seandainya Bangkit memintaku menjalin hubungan lebih sekarang, aku juga tidak akan mengiakan. Sebab kami baru bertemu tiga kali. Terlalu cepat untuk mengubah status kami. Tetapi kenapa aku tidak suka dikenalkan sebagai temannya? Kenapa aku menginginkan lebih?

"Nanti aku telepon Mama lagi. Sekarang aku harus berangkat." Bangkit mengakiri panggilan, lalu bicara kepadaku. "Maaf ya, sudah bikin kamu menunggu, ibuku selalu menelepon di saat yang tidak tepat. Kita berangkat sekarang?"

Bangkit berdiri lebih dulu lalu mengulurkan tangan kepadaku.

Aku menyambut dan bangkit dari duduk. "Kalau kamu ada acara hari ini ... sama keluargamu ... kita bisa pergi lain kali."

"Ini satu-satunya kesempatan kita, besok-besok sudah tidak ada lagi acaranya. Ibuku selalu menyuruhku ikut makan malam di rumahnya karena tahu hidupku menyedihkan. Setiap weekend biasanya aku hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, main game, membaca komik, tidur." Bangkit menungguku mengunci pintu sebelum kami melangkah bersama menuju lift. "Kadang-kadang ibuku ... bahkan mengundang anak temannya. Jadi dengan bilang pada ibuku aku keluar dengan teman wanita akan membuat ibuku berhenti melakukannya."

"Mengundang anak temannya? Maksudmu ... dijodohkan?" Aku tidak tahu kalau masih ada orangtua yang mempraktikkan perjodohan secara tradisional seperti itu.

"Begitulah. Makanya aku sering mengarang alasan supaya tidak perlu ke sana dan bisa main game atau membaca komik. Sendirian di rumah. Saat malam minggu. Tapi hari ini aku tidak perlu membuat-buat alasan, karena aku memang pergi bersamamu."

"Aku juga. Akhir pekan begini lebih banyak marathon nonton drama atau baca buku. Kurasa ingin menyendiri setelah lima hari berurusan dengan orang bukan sesuatu yang salah." Kecuali kalau Sali mengajakku keluar, berdua atau bersama teman-teman kami yang lain.

"Jadi kamu tidak ingin keluar hari ini? Mau di rumah saja?"

"Ya nggaklah. Aku sudah dandan begini. Sudah siap pergi kok. Tapi, kita mau pergi ke mana? Kenapa harus hari ini?"

"Harus hari ini, supaya aku terhindar dari ibuku. Menurut ibuku, laki-laki seusiaku seharusnya sudah punya calon istri dan menghabiskan akhir pekan bersamanya." Tidak perlu waktu lama bagi kami untuk sampai di lobi, dari lantai tiga tempat apartemenku berada.

"Kamu satu kota dengan orangtuamu tapi nggak tinggal serumah?" tanyaku ketika kami hampir mencapai mobil Bangkit. "Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kita mau ke mana?"

"Tinggal serumah sama orangtuaku?" Bangkit tertawa dan menggelengkan kepala. "Makan malam seminggu sekali dengan mereka saja kuhindari, Ela. Aku tidak akan betah serumah dengan mereka dan diceramahi untuk cepat menikah. Lagi pula, aku sudah membeli rumah sejak sebelum Sara meninggal. Untuk ... jika kami menikah...."

Bangkit tetap tidak memberitahu kami akan ke mana.

"Sara? Pacarmu ... yang dulu?" Aku memastikan.

"Ya." Bangkit menjawab singkat. Dan final.

Unexpectedly in LoveWhere stories live. Discover now