TIGA

732 140 9
                                    

"Ela, Darwin mencintaimu, aku yakin," potong Sali.

"Cinta tapi nggak pernah ketemu. Sedangkan di sana dia bisa ketemu dengan siapa pun wanita yang ingin mendekatinya. Lebih mudah jalan-jalan dengan wanita itu. Bahkan bicara dengannya pun nggak kena perbedaan waktu seperti saat ngobrol denganku. Mereka juga saling memahami, karena sama-sama masih kuliah." Aku mengemasi barang-barangku dan bersiap pulang.

"You know, Sal, aku memang ingin tahu apa motif Darwin mengakhiri hubungan kami. Apa dia bertemu wanita lain di sana atau apa. Tapi ... aku sadar ... aku tahu pun nggak akan mengubah keadaan. Aku tetap akan patah hati. Yang kuperlukan sekarang adalah ... gimana bisa keluar dari situasi ini secepatnya."

"Hmmm ... ini hari Jumat. Kamu bisa pulang dan tidur, bangun siang besok. Tapi kamu harus janji kalau kamu akan makan?"

Aku tertawa pelan. "Iya, Mama."

"Serius, Ela. Hormon kebahagiaan itu katanya bakal bisa keluar kalau ada makanan yang masuk ke perut. Jadi kamu harus makan. Nanti aku telpon kamu dan kalau kamu belum makan, aku akan datang dan nyuapin kamu makan. Nah, besok kita nggak kerja. Aku ada kegiatan, mau ngajarin komputer ke remaja-remaja di kampung belakang kompleks rumahku. Mau ikut?" Tawar Sali.

"Aku nggak tahu, Sal. Aku mau sendirian dulu." Aku ingin langsung mengatakan tidak. Meringkuk di bawah selimut sambil mendaftar sifat-sifat buruk Darwin sepertinya lebih menyenangkan. Dengan begitu, aku akan sadar bahwa Darwin tidak sempurna. Bahwa secara keseluruhan hidup ini tidak sempurna dan aku tidak akan bisa mendapatkan semua yang kuinginkan.

"Ela, tadi kamu bilang kamu ingin cepat melewati patah hati ini? Kamu nggak akan bisa melakukannya di dalam kesendirian. Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kurang beruntung akan membuat kita memandang hidup dari sisi berbeda," lanjut Sali. "Masalah terbesar dalam hidup kita adalah putus cinta. Sedangkan bagi mereka, putus sekolah. Mungkin dengan membantu mereka yang kekurangan, kita akan menemukan kebahagiaan, meski dalam wujud yang berbeda. Aku yakin mendengar suara tawa anak-anak, membuat perbedaan baik dalam hidup mereka akan menumbuhkan semangatmu."

"Kalau aku saja susah percaya Darwin mengakhiri hubungan kalian dengan alasan yang nggak meyakinkan seperti itu, bagaimana denganmu? Karena itu kamu perlu distraction, Ela. Supaya nggak terus-terusan memikirkan motif Darwin," lanjut Sali.

"Karena dia sudah nggak mencintaiku. Itu alasannya." Otakku sudah tidak mampu lagi untuk menerjemahkan apa maksud dari pesan singkat Darwin, jadi untuk lebih memudahkan pemahaman, aku menarik kesimpulan yang sederhana tapi masuk akal seperti itu.

"The person who broke your heart is not meant for you. There is a reason to everything that happens to us. For now, you cannot figure out why he hurt you very badly. Tapi aku yakin, kamu akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang ada di hatimu suatu hari nanti." Sali tersenyum menatapku. "Mungkin jawabannya karena Tuhan sudah menyiapkan seseorang untukmu. Yang lebih baik. Siapa yang tahu, kan?"

Kalau ada satu sifat Sali yang membuatku iri, itu adalah optimismenya. Dalam keadaan segelap apa pun dia selalu bisa mencari celah untuk mendapatkan cahaya. Mungkin aku perlu mentraktirnya makan malam hari ini, karena dia sudah berbaik hati mendengarkanku dan memaksaku untuk melihat masalah dari sudut pandang berbeda.

"Nggak semua orang bisa langsung bangkit setelah patah hati, Sal. Aku perlu waktu sebelum ... memikirkan orang lain yang disiapkan Tuhan." Aku menggelengkan kepala dan mengemasi barang-barangku. "Ayo kita makan sajalah."

Hidup ini terlalu pendek untuk dihabiskan dengan menangisi seseorang yang menyakitiku. Kenapa aku harus menyiksa diri dengan tidak makan dan tidak tidur, kalau di belahan bumi lain Darwin sedang tertawa dan menikmati hari yang indah bersama teman-temannya? Atau kekasih barunya?"

Unexpectedly in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang