SEBELAS

453 124 15
                                    

"Mampirlah nanti, aku traktir. Have a nice day, you two." Matteo mengangguk lalu bergerak meninggalkan kami.

"Dia pasti memakai trik itu untuk ... flirting dengan wanita," gerutu Bangkit.

"Huh?" Aku tidak mengerti.

"Hanya orang-orang yang punya nama berakhiran huruf vokal yang bisa membuat pizza yang sempurna." Bangkit menirukan cara bicara Matteo. "Siapa di Indonesia yang lebih banyak punya nama berakhiran huruf vocal? Wanita."

Aku tertawa dan menepuk pelan lengan Bangkit. "Jangan curigaan begitu dong. Setahuku memang kebanyakan orang Italia berpikir begitu. Nama mereka kebanyakan berakhiran huruf vokal. Francesco, Matteo, Alessandro. Hanya orang asli sana yang bisa membuat pizza dengan sempurna."

"Kita ke Italia dulu ya. Aku mau beli Savoiardi kalau ada. Untuk membuat tiramisu." Aku mengajak Bangkit masuk ke stand.

Bangkit berjalan di belakangku. "You bake? Could you be more perfect, Ela?"

Lady finger yang kucari ada di antara deretan makanan ringan khas Italia. Aku mengambil lima bungkus. "Kenapa nggak? Memasak bukan sesuatu yang sulit dipelajari. Tinggal mengikuti cooking video di YouTube atau minta resep sederhana dari ibumu, kamu sudah bisa memasak. Orang yang nggak bisa memasak biasanya adalah orang yang ... gampang menyerah. Mencoba memasak beberapa kali, nggak enak, lalu berhenti dan menyatakan memasak bukan keahliannya."

"Atau pemalas. Sepertiku." Bangkit menyeringai. Seksi sekali. "Aku terlalu dimanjakan dengan layanan pesan antar. Memencet HP lebih gampang ketimbang menyiapkan bahan dan mencuci peralatan masak."

"Kita lihat-lihat dulu ya. Sambil ngadem. Siapa tahu ada inspirasi tujuan liburan selanjutnya." Karena sudah masuk ke dalam stand, Bengkit mengajakku berkeliling untuk mencari tahu infromasi mengenai wisata unggulan di Italia.

"Nggak ada yang salah dengan beli makan di luar. Tapi aku lebih suka memasak kalau ada waktu. Percaya atau nggak, menurutku memasak mengurangi stres." Kami berdiri di samping meja besar. Bangkit membuka-buka buku panduan perjalanan wisata di Italia.

"Kalau kamu tidak ingin makan sendirian, atau tidak bisa menghabiskan masakanmu sendirian, kamu tahu harus menghubungi siapa."

"Nggak perlu menghubungi siapa-siapa. Kalau aku mencoba resep baru atau apa, Sali muncul sendiri tanpa harus ditelepon. Dia kayak punya radar yang bisa mencium aroma masakanku." Aku membaca destinasi bulan madu yang harus dikunjungi di Italia. Mencari inspirasi, siapa tahu aku dan suamiku punya cukup tabungan untuk berlibur sebulan di sana. Tidak ada salahnya berharap bukan?

"Aku ingin pergi ke sini." Telunjuk Bangkit menunjuk foto Capri Islands.

"Kalau aku ingin ke Naples. Kita bisa makan Neapolitan pizza yang asli di sana. Kastil-kastilnya juga indah banget."

"Buatan Matteo tidak original?"

"Yang di Naples ini pizzerianya sudah ada sejak sebelum Perang Dunia pertama. Rasa dan kualitasnya tetap sama, walau sudah berganti generasi."

"Kamu sudah pernah ke sana?"

Aku menggeleng. "Tapi kakakku menghadiahi ibu dan ayahku tiket perjalanan ke sana saat ulang tahun pernikahan kedua puluh lima. Dan ibuku cerita banyak."

"Kita bisa mengunjungi keduanya nanti. Capri Islands and Naples."

"Kita?" Mataku terbelalak. "As in you and me?"

"Kenapa memangnya? Apa kamu tidak bisa membayangkan kita jalan-jalan berdua? Ke suatu tempat paling indah di dunia?"

"Ini lokasi bulan madu," koreksiku.

Bangkit menatapku dalam-dalam. "Apa kamu tidak bisa membayangkan kita pergi bulan madu berdua?"

***

Kencan pertama yang benar-benar sempurna untuk perutku. Tetapi berbahaya untuk berat badanku. Setelah menikmati sepotong Neapolitan pizza dan gelato—satu scoop untukku dan dua untuk Bangkit—di stand Italia kami melanjutkan berkeliling. Di stand milik konsulat jenderal Jepang, aku tidak bisa berhenti makan. Takoyaki, taiyaki, manju, dan beberapa makanan kecil—tapi mengenyangkan—khas Jepang kucoba di sana. Aku pernah pergi liburan ke Jepang bersama Sali dan aku rindu sekali makan jajanan enak dari negeri matahari terbit itu. Saking penuhnya perutku, aku sampai tidak bisa makan siang.

Karena Bangkit masih lapar dan harus makan siang, kami duduk memesan makanan di stand Thailand. Setelah Bangkit menandaskan semangkuk Guay Teow—mie kuah khas Thailand—dan sepiring Som Tam—salad yang terbuat dari pepaya muda, tomat, wortel, dan sayuran lain—kami berfoto di stand milik konsulat jenderal Jerman. Bangkit tertawa dan tidak menolak saat aku mengajaknya menyewa sepasang kostum yang biasa dipakai pada acara Festa Junina*. Bangkit tetap mengenakan kemejanya, hanya menambahkan rompi oranye dan memasang topi jerami di kepalanya. Sedangkan aku memakai terusan—warna kuning dan merah dan topi jerami, serta mengikat dua rambutku. Konsulat Jenderal Jerman menyediakan fotografer dan fasilitas cetak foto di tempat, dengan harga tertentu.

"I had so much fun today. Terima kasih sudah memikirkan kencan yang nggak biasa." Aku memandangi fotoku bersama Bangkit. Dalam foto itu kami berdiri berhadapan, berpegangan tangan, persis seperti pasangan yang akan menari bersama. "Kukira kamu bakal malu tadi diajak foto kayak gini. But you are sport. Fotonya bagus. Kita kelihatan bahagia kan di sini?"

"Hmmm ... aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia." Bangkit membelokkan mobilnya ke kanan, di lampu merah terakhir menuju apartemenku.

"Masa?" Aku memajukan bibir bawahku, tidak mau menerima begitu saja janji Bangkit. "Awas ya, kalau nanti kamu menolak melakukan sesuatu yang kuminta, aku akan ingatkan kamu satu pernyataanmu tadi."

"Apa perlu kuulangi, supaya kamu mau merekamnya?"

"Nggak perlu. You know, kebahagiaanku adalah tanggung-jawabku, bukan tanggung-jawabmu. Jadi aku nggak akan menuntutmu membuatku bahagia, apalagi kalau dalam melakukannya, kamu sendiri justru tidak bahagia. Tapi aku menghargai niat baikmu."

Mobil Bangkit sudah berhenti di depan gedung apartemenku. "Hari Senin sampai Rabu aku ke luar kota. Apa Kamis malam, waktu aku sudah di sini lagi, aku bisa mengajakmu makan malam?"

"Apa aku harus memakai gaun?" Tadi saat makan siang aku sempat mengungkapkan aku ingin makan malam di restoran berbintang, di mana aku dan Bangkit harus mengenakan pakaian formal untuk masuk ke sana.

"Iya. Tapi kalau kamu tidak nyaman, menurutmu terlalu cepat, kita bisa memilih tempat yang lebih santai."

"Aku sudah menunggu kesempatan untuk memakai gaun dan makan malam romantis ... candle light dinner ... bersama laki-laki, seumur hidup."

Bangkit tersenyum kepadaku. Senyum yang membuat hatiku menghangat. Tangan kiri Bangkit menggenggam tanganku. "Selama aku tidak di sini, aku akan berusaha meneleponmu setiap malam seperti biasa. Tapi kalau aku tidak melakukannya, itu bukan karena aku malas atau tidak kangen, tapi karena tidak ada sinyal. Atau aku sibuk."

****

*Festival penuh warna yang diperkenalkan orang-orang Portugal, lalu menjadi terkenal di Brazil. Di Jerman, khususnya di kota Berlin, festival ini diselenggarakan sebagai bentuk kontribusi budaya warga keturunan Brazil. Siapa saja boleh berpartisipasi untuk menari, memakai kostum, mencicipi makanan, dan lain-lain. Biasanya peserta festival mengenakan kostum petani tradisional dengan warna-warna mencolok, seperti merah, kuning, hijau, dan lain-lain.

***

Hei, kalau kamu menyukai cerita ini, tinggalkan komentar ya. Nanti aku balasin ya saat aku sudah sembuh :-) Have a nice weekend.

Unexpectedly in LoveWhere stories live. Discover now