DUA BELAS

432 106 6
                                    

Aku menggangguk. "Aku mengerti. Kita turun sekarang?"

Kami berjalan bersisian—masih bergandengan tangan—melintasi lobi dan masuk lift. Tidak ada suara di antara kami, hingga lift berdenting dan berhenti di lantai yang kami tuju.

"Besok aku kabari sebelum aku berangkat. Masuklah. Istirahat." Bangkit meremas tanganku sekali sebelum melepaskan genggamannya.

Aku membuka kunci dan bersiap masuk. "Thank you, sekali lagi."

Bangkit mengangguk.

Aku berjinjit dan mencium pipi Bangkit. Kemudian secepat kilat aku masuk apartemen dan menutup pintunya. Dengan kedua tangan aku menangkup pipiku. Sampai besok juga senyum lebar tidak akan terhapus dari wajahku.

Kencan pertama yang berhasil selalu dilanjutkan dengan kencan-kencan selanjutnya. Aku selalu percaya itu. Karena aku akan mendapatkan kencan kedua lima hari lagi, hari Kamis, begitu Bangkit kembali dari luar kota, dengan ini aku menyatakan kencan pertamaku sukses besar. Sampai titik ini, aku semakin sadar bahwa sudah tidak mungkin lagi aku meminta diriku untuk tidak mencari cinta—lebih-lebih belum lama hubunganku dengan Darwin berakhir—dan tidak jatuh cinta.

Ah, cinta memang sesuatu yang tidak pernah bisa kupelajari bagaimana cara kerjanya. Sampai kapan pun akan tetap menjadi misteri. It doesn't matter what I tell myself, how scarred and broken and numb I thinks I am. Love will come knocking again and again.

Cinta? Aku tertawa pelan. Manusia mana di dunia ini yang jatuh cinta hanya setelah sekali berkencan? Masih lekat betul di dalam ingatanku bahwa aku jatuh cinta pada Darwin setelah hampir setahun kami berteman. Lama mengenalnya saja aku tidak membuatku bisa memahami dirinya seratus persen. Bagaimana dengan Bangkit yang baru kukenal beberapa minggu?

Saat mulai pacaran, usiaku dan Darwin sembilan belas tahun. Masih sama-sama optimis dan antusias menyikapi cinta dan jatuh cinta. Tidak ada rasa sakit dan kekecewaan—terkait hubungan asmara—dari masa lalu yang menghantui kami. Karena, siapa yang menangisi cinta monyet? Semuanya berjalan begitu mudah saat itu. Tanpa banyak pertimbangan kamu memulai hubungan.

Namun, sekarang, aku akan—atau sedang—menjalani sebuah hubungan dengan level keseriusan dan kerumitan sepuluh tingkat di atas hubunganku dengan Darwin dulu. Aku dan Bangkit sama-sama sudah memiliki sejarah kelam terkait cinta. Kami sama-sama ditinggalkan seseorang yang kami cintai. Walaupun Sara meninggal dunia, bukan mencampakkan Bangkit, aku yakin Bangkit tetap merasa dikhianati. Mungkin tidak oleh almarhum kekasihnya, tapi oleh takdi.

Tantangan terbesar kami dalam menjalani hubungan ini adalah mengalahkan trauma masa lalu dan berkonsentrasi menjalani apa yang lebih penting; masa kini dan masa depan.

Usia Bangkit tiga tahun lebuh tua dariku. Pengalaman hidupnya pun lebih banyak. Tidak hanya yang bisa dikenang dengan senyuman, tapi juga kejadian menyakitkan yang bisa dijadikan pelajaran. Aku ingin mengetahui semuanya, terutama mengenai kisah Bangkit dan Sara. Aku ingin memberi penghargaan kepada siapa pun dan apa pun yang berperan dalam membentuk Bangkit yang kukenal sekarang. Sosok yang, aku percaya, lebih baik daripada yang dulu. Meskipun, ada rasa tidak suka dalam hatiku. Karena aku merasa masa lalu Bangkit akan sedikit menahan Bangkit untuk melangkah maju. Bersamaku.

***

Makan malam mengenakan gaun belum bisa dilaksanakan. Tiga malam yang lalu Bangkit tidak kebagian tempat saat melakukan reservasi di restoran pilihannya. Tidak masalah bagiku, karena Bangkit dengan cepat menemukan solusi untuk menggantikan makan malam istimewa yang harus ditunda. Menikmati berbagai makanan di food festival yang buka seminggu dua kali di bagian depan sebuah kompleks perumahan kelas atas bersama Bangkit tidak kalah menyenangkan. Ralat, melakukan apa saja bersama Bangkit selalu menyenangkan. Banyak pengalaman baru yang kudapatkan, yang mungkin tidak akan terjadi jika aku menjalin hubungan dengan laki-laki lain.

Mataku tidak berkedip memperhatikan seorang pemuda yang sedang menyiapkan teh tarik pesananku, jarak antar-dua-cangkir jauh sekali dan cairannya tidak tumpah.

"Kenapa kencan kita selalu ... melibatkan makan-makan ya?" Saat itu aku mengajukan protes kepada Bangkit.

"Biar perut kita kenyang," jawabnya santai.

"Ya tapi aku olahraganya jadi harus rajin juga. Dua kali lebih rajin. Apa ini saatnya aku yang memilih kegiatan? Supaya nggak makan terus seperti ini."

"Kencan berikutnya kita bisa olahraga sama-sama. Apa kamu suka main badminton?"

Sejauh ini peringatan Sali mengenai Bangkit, yang sering menghilang tanpa kabar, belum pernah terjadi. Kalau kami tidak bisa bertemu, Bangkit akan meneleponku dan kami saling menceritakan kejadian menyebalkan atau konyol yang kami lihat hari itu. Beberapa kali dalam sehari, Bangkit mengirim pesan padaku, meski isinya lebih sering tidak penting. Tetapi semua itu membuatku yakin bahwa Bangkit selalu memikirkanku, ingat padaku di mana pun dia berada.

Aku mengerang ketika interkom di dapur berbunyi. Mengganggu istirahat orang saja. Siapa yang datang dan tidak memberi tahu lebih dulu? Mengirim pesan atau apa? Sambil menggerutu sendiri kutendang selimutku dan aku turun dari sofa. Pukul delapan malam lebih sepuluh menit, aku memeriksa jam di microwave saat aku berdiri di samping tembok dapur. Tanganku meraih gagang telepon. Satpam di lobi mengatakan ada kiriman untukku dan dengan alasan sakit, aku memintanya untuk mengizinkan kurir ke atas. Ke depan pintuku.

Tidak sampai lima menit kemudian, pintu apartemenku diketuk. Ada laki-laki berjaket hitam di sana, memegang kotak putih dengan logo bakery ternama. Bakery favoritku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku menutup puntu.

Sambil berjalan ke dapur, aku membuka kotak tersebut. Ice cream cake. Aku tersenyum lebar saat meletakkan kotak tersebut di meja dapur—yang merangkap meja makan—dan memeriksa isinya. Kue bundar dengan rasa mangga. Sempurna. Pasti manis dan segar. Ada kartu yang kuterima bersama kue ini. Hanya ada satu kalimat di kartu tersebut. Tetapi itu saja sudah cukup membuat hatiku menghangat. Dadaku penuh sesak dengan cinta. Sampai-sampai aku takut tulang rusukku berhamburan ke mana-mana, karena meledak.

Get well soon, Ela.

Love, B

Aku mengatur kue, piring, dan kartu tersebut sedemikian rupa untuk mendapatkan komposisi gambar yang bagus saat aku memotretnya. Tentu saja aku akan memamerkan foto tersebut kepada Sali. Setelah mendapatkan foto terbaik, aku mengirim pesan kepada Bangkit untuk mengucapkan terima kasih—sekaligus memastikan kue tersebut benar-benar darinya. Zaman sekarang harus sangat berhati-hati saat menerima kiriman manakan. Tindak kejahatan sudah di luar batas nalar manusia.

Setelah memotong kue—dengan hati-hati—dan menaruhnya di piring, aku menyimpan kue tersebut di kulkas. Bangkit benar-benar penuh perhatian. Tadi siang, saat Bangkit meneleponku pada jam istirahat, aku mengatakan padanya bahwa perutku sedang tidak nyaman. Aku bahkan tidak ada nafsu makan. Hanya ingin makan makanan yang manis-manis saja seharian ini. Bangkit bertanya apakah aku sakit asam lambung atau salah makan hari sebelumnya. Yang semuanya kujawab tidak. Kurasa Bangkit bisa menyimpulkan bahwa aku sedang datang bulan dan suasana hatiku sedang tidak baik sama sekali hari ini. Kue seperti ini sangat bisa menaikkan suasana hatiku. Bahkan sebelum masuk ke perutku.

Aku memejamkan mata ketika suapan pertama menyentuh lidahku. Berbagai paduan rasa yang menyenangkan menggetarkan lidahku. Seperti ini mungkin yang dinamakan surga dunia. Jatuh cinta saja sudah membahagiakan, apalagi ditambah menerima perhatian dari laki-laki yang membuatku jatuh cinta.

***

Teman, kalau kamu ingin mendukungku dengan membaca karyaku yang lain, kamu bisa melakukannya melalui:

1. Aplikasi iPusnas dari Perpustakaan Nasional. GRATIS. Tapi aku tetap mendapat royalti. Ada lima bukuku yang bisa dibaca di sana ya.

2. Aplikasi Gramedia Digital. Pakai Fiction Package Rp 49.000 bisa membaca semua judul bukuku di sana

3. Ada diskon 25% jika kamu membeli buku di Gramedia.com, buku juga tersedia di seluruh toko buku di Indonesia

4. Bab ekstra novel-novelku tersedia di karyakarsa.com/ikavihara

Terima kasih kamu sudah mendukungku membiayai penulisan novel selama ini. Aku nggak akan bisa menulis tanpa kontribusi rupiah darimu.

Unexpectedly in LoveWhere stories live. Discover now