EMPAT BELAS

414 110 11
                                    

Teman, besok sudah masuk bulan Ramadan. Aku berharap bisa menjalaninya dengan hati yang lebih bersih. Jadi, aku memohon maaf kepadamu ya, jika aku ada salah selama berteman denganmu di Wattpad maupun di media sosial. Semoga kita bisa memanfaatkan bulan suci dengan sebaik-baiknya, untuk mendapatkan keberkahan dan ampunan :-)

Insyaallah tidak ada perubahan hari untuk update cerita ini. Selasa dan Jumat. Mungkin jamnya agak malam saja, setelah taraweh atau tadarus.

Semoga kita diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menyelesaikan satu bulan puasa.

Selamat menikmati lanjutan ceritanya. Sudah sampai separuh ini :-)

***

"Apa kamu mau nonton TV dulu?" tawarku ketika Bangkit sudah selesai mencuci sendok bekas makannya. "Nggak mau langsung pulang kan?"

"Boleh." Bangkit membawa gelas dan apel, mengikutiku menuju ruang tengah—yang merangkap ruang tamu.

Setelah melipat selimut yang tadi kupakai selama tidur-tiduran dan meletakkannya di kursi di meja, aku duduk bersisian dengan Bangkit. Saat aku sibuk memilih-milih film dari layanan berbayar langgananku, ponsel Bangkit berbunyi. Mungkin ada film yang tidak terlalu romantis dan tidak terlalu banyak mengandung unsur kekerasan—aku tidak suka dengan film seperti itu—yang bisa kami nikmati bersama.

"Ibuku." Bangkit memberi tahu. "Aku terima dulu ya."

Setelah aku mengangguk, Bangkit memberi salam kepada ibunya.

Aku tidak jadi memutar film untuk memberi kesempatan Bangkit bicara dengan ibunya. Dulu aku dekat dengan ibunda Darwin—beliau baik sekali padaku. Apakah nanti aku bisa akrab dengan ibunya Bangkit? Kalau melihat frekuensi komunikasi Bangkit dengan ibunya, tampaknya mereka adalah keluarga yang harmonis dan hangat.

Bangkit meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku tersenyum kepadanya lalu menyandarkan kepalaku di pundaknya. Sambil mendengarkan Bangkit bicara dengan pelan dan lembut. Suara Bangkit saat menjawab pertanyaan ibunya terdengar menyenangkan di telingaku. Apa yang lebih baik daripada seorang laki-laki yang sabar sekali saat bicara dengan ibunya? Bangkit tidak buru-buru mengakhiri panggilan.

"Ya nanti aku bicara sama mereka, Ma. Atau aku ajak mereka jalan-jalan." Bangkit meremas tanganku. "Besok aku kabari Mama lagi. Sekarang ... aku tidak bisa bicara lama-lama, Ma. Aku? Sekarang? Sedang makan sama pacarku."

Seketika aku menarik tubuhku.

"Pacar?" gumamku tidak percaya.

Seingatku Bangkit tidak pernah memintaku untuk menjadi pacarnya. Tidak pernah mengindikasikan dia ingin mengubah status hubungan kami. Tidak, aku tidak protes. Aku tidak keberatan. Hanya saja, bukankah seharusnya Bangkit memberi tahu aku lebih dulu kalau label hubungan kami sudah berbeda? Karena aku pihak yang terlibat langsung di sini. Kenapa bangkit justru menyampaikan kepada ibunya?

"Iya, Ma. Besok ya. Iya, aku sampaikan. Namanya siapa? Oh pacarku? Namanya Elaisa. Ela. Kenal di ... dikenalkan Sali. Sahabatnya Sali." Bangkit terawa pelan. "Iya, Ma. I love you too." Bangkit mengakhiri panggilan.

"Kita pacaran sekarang?" Aku meminta kepastian setelah Bangkit mengucapkan salam kepada ibunya. "Kamu bilang begitu sama ibumu tadi."

"Kamu ingin menyebut hubungan kita apa, Ela?" Bangkit memutar kepalanya dan kini wajahnya berhadapan dengan wajahku. "Kita pergi kencan, makan malam bersama seperti tadi, menelepon hampir setiap hari, saling merindukan setiap berjauhan, kriteria apa yang kurang untuk memasukkan hubungan kita menjadi pacaran?"

"Kamu belum memintaku untuk menjadi pacarmu." Terakhir kali seorang laki-laki menyatakan perasaan padaku ... itu enam tahun yang lalu. Sudah terlalu lama dan aku ingin mendengarnya lagi. "Seharusnya kamu ngomong sama aku dulu, bukan ngasih tahu orang lain. Kalau aku tahu kita sudah sampai pada tahap ini, aku nggak perlu repot-repot mencari-cari jawaban saat Sali tanya gimana perkembangan kita berdua."

Unexpectedly in LoveWhere stories live. Discover now