#06

82 30 6
                                    

   Tanpa terasa hari begitu cepat berlalu, Wedelia dan Rivajun juga sudah saling mengenal lebih dalam tentang karakter masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanpa terasa hari begitu cepat berlalu, Wedelia dan Rivajun juga sudah saling mengenal lebih dalam tentang karakter masing-masing. Wedelia pagi ini sudah mengenakan seragam sasirangannya sebagai hari kamis yang cukup cerah, pagi pukul enam kurang, Wedelia sudah jongkok memasang wajah cemberut melihat bunga Wedelia yang di tanamnya di dalam pot, mati. Padahal, Wedelia memberi pupuk dan menyiram secara teratur, Wedelia menyentuh daunnya yang menguning dan bunga kuning cerah itu juga sudah layu.

Wajah masamnya semakin terlihat jelas saat gadis itu terpaksa mencabut batang Wedelia dari tanah, lalu membuang bunga itu dekat genangan air kebun Ibunya. Kebetulan, sang Ibu sedang sibuk menyirami beberapa sayuran yang ditanamnya, untuk konsumsi sehari-hari.

"Wajahnya kok murung gitu?" Ibunya pun menanyakan perihal wajah masam yang terpatri jelas di wajah cantik Wedelia.

"Enggak apa-apa Bu, Wedelia lagi kesal aja. Masa iya, udah disiram teratur bunganya mati." jawab Wedelia hampir menangis, menandakan dia adalah gadis berhati lembut namun sebetulnya sangat tegas dan keras.

"Kamu tanamnya dikasih pupuk nggak?"Ibunya menaruh alat siram yang mirip teko di dapur, melangkah pelan mendatangi Wedelia yang masih masam membuang tanah dari dalam pot, mencampur tanah itu dengan tanah ladang ibunya.

"Dikasih Bu, padahal kemarin Wedelia lihat bunganya subur." Wedelia berkali-kali mendengus kesal, gadis itu benar-benar tidak rela bunga yang sudah dirawat penuh olehnya mati begitu saja.

"Kamu tanam ulang aja, tapi ingat pupuk harus seimbang sama komposisi tanahnya. Jangan kebanyakan," Ibu mengusap pelan punggung anak gadisnya.

Wedelia mengangguk patuh, mungkin benar kata Ibunya. Wedelia terlalu banyak menaruh pupuk atau mungkin terlalu banyak memberikan volume air pada bunga kecil itu, "Iya, nanti Wedelia minta temani Ajun lagi buat ambil bunganya."

"Wedelia, kok nggak cerita punya pacar?" Kedua bola mata Ibu membesar, namun keningnya mengerut.

"Bukan Bu, Ajun itu teman Wedelia." Wedelia menatap sepasang mata Ibunya, gurat gelisah dan cemas terlukis jelas di wajahnya.

"Kalau kamu temenan, Ibu nggak melarang, tapi ingat kalau temenan sama lawan jenis itu, kamu harus hati-hati, jaga sikap, jaga lisan, dan jaga pandangan. Bukannya Ibu su'udzon, tapi yang namanya manusia apalagi lawan jenis, pasti ada ketertarikan, ingat jangan mengundang syahwat laki-laki." Ibu menasihati Wedelia hal ini sudah berkali-kali, tidak bosan-bosannya memang mengingatkan anak gadis tunggalnya ini. Sedangkan yang diberi wejangan mengangguk patuh, lama kelamaan Wedelia bosan mendengar wejangan yang hampir sama dalam satu bulan atau satu pekan.

"Ya sudah, kamu sarapan dulu. Habis itu langsung berangkat."

"Nggeh Bu." Wedelia mengangguk patuh, perlu diketahui Wedelia dan Ibunya adalah orang Jawa timur yang pindah ke Kalimantan, Ibu pergi merantau dan tidak sengaja bertemu Ayah Wedelia yang merupakan asli orang Banjar, penduduk asli Kalimantan.

RIVAJUN  (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang