10. Impian

47 19 1
                                    

Malam yang penuh dengan keheningan. Hanya ada suara hewan-hewan kecil yang menemani kesendirian gadis itu. Tangannya bergerak diatas keyboard laptop yang berada diatas meja belajar nya.

Malam ini, Amira berniat akan menyelesaikan ceritanya yang hampir tamat. Biar saja untuk malam ini gadis itu tidak belajar. Hanya sesekali, bukan kah setiap hari dari pagi sampai malam Amira selalu berkutat pada buku-buku tebalnya.

Gadis itu mengetikkan kata di bawah paragraf terakhir 'tamat'. Menghembuskan napasnya lega karena sudah berhasil menyelesaikan part terakhir ceritanya. Setelah ini gadis itu akan segera mempublis naskahnya.

Brakk
"AMIRAA JADI INI YANG KAMU LAKUKAN.." Gadis itu menoleh kaget kerah pintu kamarnya. Menemukan sosok pria paruh baya yang sudah berdiri menatap tajam kearah nya. Masih dengan setelan jas putih yang melekat pada tubuhnya, Atlas berjalan cepat kearah gadis itu.

"Kamu tidak belajar.." Tangan kekar itu menarik Amira untuk berdiri. Kedua matanya menatap kearah layar laptop yang menyala. Memicingkan matanya melihat banyaknya deretan kata pada layar tersebut.

"Apa ini? Kamu menulis. Ini sebabnya nilai mapel pokok jurusan kamu menurun." Gadis itu menunduk, bukannya takut. Tapi Amira malas untuk hanya sekedar menatap wajah papahnya itu.

"JAWAB AMIRAA.."

"Iyah pah, kenapa kalo aku nulis. Itu hobi aku, papah tau kan cita-cita aku pengen jadi apa?" Dengan cepat kepalanya mendongak dengan mata yang sudah berlinang kristal bening Amira menatap tajam kearah Atlas.

"Makin berani kamu natap saya seperti itu hah?"

"Kenapa sih pah, aku harus jadi dokter? Aku sama sekali gak berminat." Gadis itu menarik alisnya dengan kedua tangan yang terbuka berada disamping tubuhnya.

"Kamu harus jadi dokter, agar melanjutkan profesi kami." Amira memejamkan matanya erat. Gadis itu sudah muak dengan kata-kata ini. Papahnya pasti akan selalu menginginkan hal yang sama.

"Kalo aku gak mau?"

Plakk, wajahnya tertoleh kesamping akibat hantaman sebuah tangan yang mendarat dipipinya. Amira merasakan nyeri yang menjalar dipipinya, bekas tamparan kemarin saja belum hilang. Ini sudah mendapatkan lagi, begitu kasian.

"Tutup mulut kamu." Atlas mengangkat jari telunjuknya dihadapan wajah gadis itu. Kemudian kakinya melangkah kearah meja belajar. Dengan tergerasa tangannya mengotak-atik keyboard pada laptop tersebut. Jarinya mengklik tombol 'delete'.

Kedua mata abu itu membulat melihat hal yang baru saja dilakukan oleh pria paruh baya itu.

"Papah apa-apan, kenapa cerita aku dihapus?" Kakinya bergerak melangkah cepat, sedikit mendorong tubuh Atlas agar menjauh dari laptop nya.

Air matanya kembali terjatuh ketika melihat halaman kosong pada layar laptop nya. Sekarang cerita yang telah ia tulis hampir lebih dari 1000 kata itu hilang dalam waktu kurang lebih hanya satu detik.

"Pahh,, aku udah nulis itu dari 1 jam lalu." Kedua tangannya menarik kuat rambut coklat sepinggang miliknya. Kepala gadis itu menggeleng kuat menatap tidak percaya kearah Atlas.

"Papah jahat.."
Pria paruh baya itu tidak pernah tau. Seberapa sulitnya Amira menulis cerita itu, mengumpulkan imajinasi kemudian merangkai setiap kata membentuk paragraf demi paragraf. Tetapi dengan entengnya tangan itu menghapus semua tulisan Amira. Hal yang paling berharga sekarang bagi Amira, hanya tulisan nya.
Tidak ada lagi, karena kedua orangtuanya saja tidak pernah memberikan rasa kasih sayang kepadanya. Setiap hari yang Amira rasanya hanyalah paksaan dan tekanan.

"Aku harus ngulang dari awal."

****

Langit gelap, angin berhembus kencang terasa menusuk pada kulitnya. Gadis yang memakai cardigan rajut itu berjalan tanpa arah.

Setelah Atlas keluar dari kamarnya, dengan cepat gadis itu kabur dari rumah. Amira akan kembali, hanya saja sekarang gadis itu butuh menenangkan pikirannya.

Sebelah tangannya memegang pipi kiri nya yang memerah akibat tamparan tadi. Sakit, tetapi Amira tidak akan mengeluh dengan hal itu. Karena sudah biasa, setiap kali nilai mapel pokok jurusan turun pasti ia akan mendapat hukuman. Entah harus belajar ektra atau di kurung dikamarnya seharian.

Tamparan setiap Amira melakukan kesalahan, itulah yang selalu ia dapatkan.

"Lo ngapain disini?" Suara itu membuat nya tersentak kaget. Kepalanya menoleh mencari sumber suara barusan. Terlihat sosok pemuda tinggi yang berdiri dihadapannya, mengenakan setelan jaket dan juga celana jeans hitam. Serba hitam, seperti mau melayad saja.

"Ah si tukang nabrak," ucapan itu membuat Amira membulatkan matanya menatap kesal kearah cowok itu.

"Lo ngapain malem-malem disini. Jangan-jangan mau maling yah..
atau mau open.."

"Berisik lo," ucapan nya terpotong kala dengan cepat Amira langsung menyumpal mulut cowok itu dengan tangannya.

"Lagian ngapain coba anak gadis berkeliaran malem," ujar cowo itu ketika tangan Amira sudah kembali turun. Tetapi sedetik kemudian matanya memicing melihat sesuatu yang aneh pada pipi gadis itu.

"Lo ditampar lagi?"

Langsung pote dan komen gess

Two Dreams✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن