CHAPTER 25

153 6 0
                                    

FALL IN LOVE

"Tidak semua orang menunjukkan rasa suka dengan hal manis. Bisa jadi orang yang sering menjahilimu justru menaruh rasa padamu."

✿✿✿

Suasana hening menyelimuti koridor rumah sakit. Aura sunyi nan mencekam dirasakan seseorang yang tengah duduk di bangku stainless. Lelaki itu duduk di depan ruang bernama kamar melati.

Sinar mata lurus memandang dinding putih di depannya. Kedua tangan saling menjalin di atas pangkuan. Ekspresi wajahnya pun terlihat suram. Keningnya tak lekas berhenti mengerut. Lipatan kulit beserta kerutan tampak menghiasi wajahnya. Barangkali ia tengah memikirkan sesuatu.

Ia mengacuhkan beberapa orang yang melintas. Fokus matanya hanya tertuju pada dinding di hadapannya. Saat seorang lelaki tua berdiri di hadapannya, ia mulai mengalihkan perhatiannya pada lelaki itu.

"Apakah Bapak keluarga dari pasien bernama Mona?" tanya lelaki tua berjas putih dengan stetoskop melingkari lehernya.

"Iya, Dok. Saya suaminya."

Lelaki dengan name tag Nazaruddin itu mengangguk kepala. "Baik, Pak. Silakan ikut saya ke ruangan."

Nazar membawa Ikhsan ke dalam ruang kerjanya. Ia meminta Ikhsan duduk di kursi depan mejanya agar ia dapat menjelaskan sesuatu dengan baik.

"Izinkan saya bertanya satu hal dengan Bapak," tutur Nazar dengan intonasi suara lembut. "Apakah Bapak sebelumnya mengetahui bila istri Bapak mengidap penyakit gagal jantung?"

"A...apa? Gagal jantung, Dok?" tanya Ikhsan memastikan apa yang ia dengar. Ia pun tampak tak percaya dengan penjelasannya. "Dia tidak pernah menceritakan keluhan penyakitnya pada saya."

"Iya, Pak. Hasil diagnosa menunjukkan istri Bapak sudah lama menderita penyakit gagal jantung ini. Sepertinya dia memiliki alasan mengapa menyembunyikan penyakitnya dari Bapak."

Ikhsan terdiam sejenak memandang meja. "Lalu... bagaimana solusinya, Dok? Apakah bisa langsung dijalankan operasi?"

Nazar mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Ikhsan. Ia meremas pundak Ikhsan dengan kuat, seakan ingin menguatkan dan melapangkan hatinya.

"Jika saja kita mengetahui penyakitnya lebih cepat mungkin dapat kita atasi sesegera mungkin."

"A... apakah sekarang penyakitnya separah itu, Dok?"

Nazaruddin mengangguk lambat. Raut wajahnya menunjukkan rasa simpati pada Ikhsan yang terlihat syok berat. "Satu-satunya cara yang dapat membantunya adalah dengan transplantasi jantung."

"Bukankah di rumah sakit menyediakan transplantasi jantung dari pendonor? Kalau begitu lanjutkan saja operasinya, saya siap membayar berapa pun untuk keselamatan istri saya."

"Sayang sekali, Pak, saat ini kami belum menerima orang yang mau mendonorkan jantungnya."

Ikhsan menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Ia terlihat frustasi dan kecewa dengan keadaan saat ini. Keadaan yang membuatnya sangat tertekan. Ia bahkan tak memberi jawaban. Ia tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk menyelamatkan istrinya.

"Jika Bapak menemukan pendonor yang mau mendonorkan jantungnya, mohon segeralah mengonfirmasi pihak rumah sakit agar dapat kita operasi, Pak."

Ikhsan mengangguk setuju. "Baik, Dok."

Ikhsan kembali mengunjungi kamar melati tempat istrinya dirawat. Langkahnya begitu lamban seakan membawa beban yang sangat berat. Sinar mata memandang sesosok wanita terbaring lemah di atas ranjang. Kala itu langkahnya semakin berat hingga membuatnya tak kuasa untuk menghampiri istrinya.

She's Dating a Cold BoyWhere stories live. Discover now