CHAPTER 17

216 6 51
                                    

YOUR LIFE

"Ini adalah hidupmu. Jangan biarkan orang lain mengatur kehidupanmu. Bahkan orangtuamu pun tak berhak untuk mengaturnya. Karena itu, berjalanlah sebagaimana kamu menginginkannya."

✿✿✿

Risa berada di salah satu ruang yang tak terlalu luas. Ruang itu sedikitnya dapat menampung tiga sampai empat orang. Ia sedang berada di toilet siswi. Masih di jam pembelajaran kedua ia lekas menuju ke toilet sendirian setelah meminta izin. Ia memang sengaja tidak meminta ditemani Mika dan Helen.

Kulit wajahnya pucat tak seperti warna kulit tangan. Ia pun tampak lesu seperti orang sakit. Kelihatannya ia sedang tak baik-baik saja. Beberapa kali ia mengerjapkan mata karena tak bisa menangkap bayangan dengan jelas. Ia pun duduk bersimpuh dengan mulut menghadap dudukan kloset duduk. Tanpa kendali ia memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Ia memuntahkan cairan putih itu hingga tak meninggalkan sisa.

Selepas itu ia beranjak dari posisinya. Ia beralih duduk di dudukan kloset. Tangannya menjamah bagian perut dan mengurutnya dengan lembut. Sesekali ia mengerang kesakitan karena tak mampu lagi menahannya. Bagian itu sangatlah sakit.

Sudah tiga hari berlalu setelah ia meminum alkohol, namun rasa mual di dalam perutnya masih tetap ada. Ia menggerutu kesal. Dalam batinnya mengucap sesal karena telah menghabiskan satu botol anggur berukuran besar. Selepas itu ia duduk termenung memandang gerendel pintu yang terkunci. Sementara indra pendengar berjuang menolak sejumlah suara yang bersumber dari balik pintu.

Suara itu kerap kali berganti pemilik bak memiliki shift. Tentu saja karena ada yang masuk ke dalam ruang dan ada pula yang keluar ruang setelah memenuhi tujuannya. Entah bertujuan buang air atau sekadar berkaca untuk memperbaiki penampilan.

Netra beralih melirik benda bulat yang melingkari pergelangan tangan. Benda tersebut menunjukkan waktu yang sedang berlangsung. Saat ini kegiatan pembelajaran kedua telah berakhir dan berganti ke waktu istirahat.

Risa terdiam sesaat usai indra pendengarnya tak sengaja menangkap derap langkah yang tak seirama. Dapat dipastikan yang memasuki ruang ini lebih dari seorang. Tak menunggu lama untuk suara itu menghilang bak ditelan bumi. Agaknya pemilik langkah telah sampai pada tujuannya untuk berhadapan dengan cermin.

"Mik, kenapa kita nggak kasih tau aja sih sama Risa?"

Manik mata spontan membulat sempurna. Alis yang menyatu beserta sejumlah kerutan yang timbul di kening menggambarkan bahwa ia begitu murka. Mereka sembunyiin sesuatu dari gue?

Risa bergerak hati-hati untuk mendekatkan telinganya pada permukaan pintu. Ia ingin mendengar percakapan mereka lebih jelas.

"Jangan," tolak Mika berpaling menghadap Helen.

"Ibaratnya kita sembunyikan bangkai. Sehebat apapun kita sembunyikan, lama-lama bakal tercium juga baunya."

"Iya, gue tau." Mika mengangguk kepala. "Tapi kita ngelakuin ini demi Risa juga."

Helen terdiam sejenak seraya menunduk kepala. Menyembunyikan wajahnya di sela rambut. Pandangannya lurus menuju sepasang sepatu hitam. "Tapi...."

"Kalo Risa tau Adrian masuk Kelas Seni, dia pasti juga ikutan masuk. Dan lo bisa mikir 'kan apa yang bakal terjadi nanti?" timpal Mika berusaha meyakinkan Helen.

Netra membulat dengan sempurna. Tanpa sadar mulutnya pun membuka setengah. Ia begitu terkejut. Tentu saja ia akan bereaksi seperti itu. Ia baru saja mengetahui fakta terbaru tentang Adrian dari kedua temannya itu.

Jadi alasan Adrian berhenti Karate karena lebih milih Kelas Seni. Tau gitu mending gue nggak usah berhenti dari awal, batin Risa.

Risa beranjak dari tempatnya dan lekas membuka pintu. Pemandangan pertama yang ia temukan adalah kedua temannya memasang mimik wajah terkejut. Mereka terlihat gelagapan usai mengetahui sosok yang tengah dibicarakan berada di tempat ini.

She's Dating a Cold BoyWhere stories live. Discover now