CHAPTER 18

199 7 85
                                    

IMPORTANT PERSON

"Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan orang yang sangat penting di hidupmu."

✿✿✿

Manik mata merekam jejak semua objek yang masuk ke dalam jarang pandangnya. Beberapa manusia dengan segala aktivitasnya, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan benda berwujud lainnya. Jemarinya menutuk lambat badan mobil mengikuti irama musik yang diputar.

Pandangan itu telah menitik di satu tempat. Semakin lama pandangannya semakin dalam. Seulas memori muncul dan memutar kembali dalam ingatan. Tanpa sengaja ia mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

Tanpa sadar sudut bibirnya menarik hingga membentuk garis lengkung. Ia tersenyum kecil dengan menunjukkan gigi depannya. Namun ia segera sadar dan menutupi mulutnya dengan tangan, berpura-pura sedang menggaruk hidung.

Rusman mengamati gelagatnya dari balik spion tengah. Tak biasanya ia melihat Adrian sebahagia itu. "Apa yang Tuan tertawakan?" tanya Rusman tersenyum. "Apakah Tuan masih membayangkan kejadian tadi?" timpalnya.

Adrian memandangnya melalui pantulan bayang spion tengah. Ia menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan Rusman. "Iya, Pak."

Tak seperti pengawal lainnya, Rusman telah mendapatkan kepercayaan Adrian. Meski ada sedikit batasan bila Adrian menceritakan sesuatu, setidaknya Adrian tak segan untuk menunjukkan senyum padanya. Hal itu sangat sulit untuk didapatkan. Adrian sudah mempercayainya karena ia adalah pegawai yang paling lama bekerja dan mengabdi di keluarga Adibrata.

"Kalau boleh tau cewek tadi siapanya Tuan, ya? Baru kali ini saya melihat Tuan sangat antusias untuk mengerjainya. Tadi saja Tuan yang meminta saya agar sengaja melewati genangan air itu."

Matanya yang tajam seperti elang menyipit tatkala ia tertawa. Sosoknya kini sedikit lebih hangat dibanding beberapa waktu yang lalu.

"Apakah dia teman Tuan?" sambung Rusman.

Teman.... batinnya.

"Ah, maaf Tuan bila saya lancang menanyakan hal itu. Saya tidak akan bertanya lagi."

Adrian menggelengkan kepala lalu menunduk menyembunyikan wajah. Salah, lebih tepatnya ia menyembunyikan mimik wajahnya saat ini yang tak biasa. Ia tersenyum sumringah dengan rona merah muncul di bawah matanya. "Bukan. Dia itu cuma beban."

"Oh, begitu." Rusman mengangguk lambat meski ia tak mengerti maksud ucapannya. Meski begitu ia tak mau lagi mengajukan pertanyaan. Ia kembali memegang setir mobil dan mengendarainya menuju rumah.

Keheningan mendominasi di dalam mobil seperti beberapa waktu lalu. Rusman tengah sibuk berkendara sementara Adrian menilik beberapa objek yang baru saja ia lintasi dari balik jendela. Mulai dari pohon, lampu jalan, pertokoan, dan hal mendukung lainnya. Ah, jalan ini biasa ia lalui ketika ia hendak menemui seseorang.

Tempat itu tak jauh dari persimpangan lampu lalu lintas. Setiap menunggu lampu berganti hijau, Adrian seringkali memperhatikan tempat itu. Ia berharap seseorang yang sangat ingin ia temui duduk di tempat yang mudah ia jangkau untuk dilihat.

Pandangan Rusman lurus menuju jalan raya. Tak jauh dari posisinya ia menemukan papan penanda tempat. Papan itu bertuliskan 'Rumah Sakit Jiwa Pertiwi', tempat yang disampaikan Adrian sebelumnya.

Rusman mengganti posisi netra menuju ke atas. Ia memandang Adrian melalui spion tengah. Adrian duduk termenung memandang apa yang ada di luar jendela. Ia terlihat seperti orang yang frustasi. Tatapannya seakan kosong dan hampa.

Rusman mengulum bibir seperti mempertimbangkan sesuatu. Ia sedang memikirkan hal yang akan ia lakukan dengan baik. Memprediksi baik dan buruk dari rencananya itu.

She's Dating a Cold BoyWhere stories live. Discover now