CHAPTER 11

411 17 58
                                    

EFFORT

"Jika kamu menyukai seseorang, maka tunjukkanlah usahamu untuk mendapatkannya. Meski terkadang kamu perlu melawan rasa gengsi."

✿✿✿

Satu per satu regu melewati anak tangga dengan tertib. Mereka tengah menunggu giliran untuk memasuki salah satu ruang di lantai atas. Ruang yang kerap disebut dojo itu biasa digunakan karateka untuk pertemuan, pelatihan, juga pertandingan.

Para peserta yang sudah masuk kemudian mengambil posisi seiza (duduk bersimpuh) juga ada beberapa yang berposisi anza (duduk bersila). Tergantung kenyamanan. Kedudukan mereka sama mengelilingi matras berwarna biru berpadu merah di tengah ruangan.

Kala kesibukan terlihat seorang siswi menggelintar di lantai dasar. Tiada henti baginya mendatangi setiap sudut ruang. Raut wajahnya begitu getir dan bingung. Sepasang netra tak lepas memandang segala arah.

"Mereka kemana, sih."

Satu-satunya siswi yang mengenakan seragam sekolah Rasi Bintang, siapa lagi jika bukan Risa. Sepuluh menit ia habiskan secara percuma. Siswi itu tak kunjung menemukan rekannya. Bahkan keberadaan Rio pun tak terdeteksi dalam pandangannya.

Risa masih setia berada di sana walau sebagian besar orang telah menghuni ruangan di lantai atas. Suasana pun berangsur sunyi seiring berjalan masa. Kini tersisa ia dan orang-orang berkepentingan yang mengisi tempat itu.

"Keknya mereka semua udah di atas," terkanya.

Tak terhitung sudah berapa kali ia menduga. Ia terus melakukannya barangkali salah satu dugaan itu adalah jawaban yang tepat. Namun kini ia telah memantapkan tujuannya menuju lantai atas. Ia sangat yakin rekan satu sekolahnya berada di sana.

Derap langkahnya terdengar singkat kala melewati barisan anak tangga. Mengindikasikan bila ia tengah mengejar waktu. Setelah sampai di tempat tujuan, manik mata spontan menuju dua orang mengenakan pakaian karate berdiri di titik tengah ruangan.

Dari sekian banyaknya insan di ruang ini, kedua orang tersebut telah menarik perhatiannya. Bukan hanya Risa, semua orang yang memenuhi ruang ini pun turut menjadikan mereka sebagai titik perhatian. Tentu karena hanya mereka saja yang mengenakan perlengkapan kumite.

Segelintir orang di barisan ujung terlihat antusias melayangkan ucapan semangat kepada seseorang bersabuk biru yang tengah bertanding. Mereka berseru menyebut nama seseorang yang terkenal ketus dan dingin seantero sekolah. Mengetahui itu Risa menghela napas lega. Ia tidak perlu lagi bersusah payah mencari rekannya.

Kini terbesit dalam pikirnya untuk turut menyuarakan semangat kepada manusia dingin itu. Akan tetapi ia tahu hal itu tak bisa terealisasi dengan mudah. Ia harus bersaing dengan puluhan suara yang berucap secara bersamaan.

Apakah ia akan menyerah begitu saja?

Ah, tentu saja tidak mungkin. Bukan Risa namanya bila mudah menyerah. Dalam benaknya tertanam sejuta akal yang akan melahirkan ide-ide cemerlang. Dalam selintas pandang Risa menemukan objek yang sangat ia butuhkan saat ini, megafon. Objek itu terletak di atas meja juri, yang mereka gunakan untuk memanggil nama peserta.

Risa bergegas menghampiri benda berwujud corong itu. Dengan tangkas tangannya mengambil megafon itu lalu mengucapkan apa yang ada di dalam benaknya. "Semangattt Adriannn!" seru Risa antusias. "Gue sangat yakin seribu persen lo bakal menang."

Tak perduli seberapa banyak orang di tempat ini, Risa sama sekali tak berpikir untuk menutupi rasa malu. Ia kehilangan rasa itu. Tak menutup kemungkinan perangainya akan mengundang setiap pasang mata. Dan betul saja, kini ia menjadi pusat perhatian. Mereka memperhatikannya dengan raut wajah beragam. Ada yang memasang mimik biasa saja, bingung, bahkan berang. Tatapan tajam seseorang bak elang tengah mengincar mangsa, bersama permukaan dahi yang dihiasi banyak kerutan, mengindikasikan bahwa ia tak begitu menyukai keberadaan Risa. Siapa lagi jika bukan Adrian.

She's Dating a Cold BoyWhere stories live. Discover now