22. Matahari di Sore Hari

6 7 12
                                    

Segala bentuk kurangnya tanda baca, kata ataupun kalimat yang rancu. Tolong untuk berkomentar, ya! Aku ingin memperbaikinya sedikit demi sedikit. Terima kasih. ^•_•^

***

Sudah sebulan semenjak kejadian di rooftop. Aku tidak tahu apakah Monday sudah jujur atau belum. Sebenarnya, aku sangat ingin ia mengetahuinya. Namun, aku tak ingin merusak hubungan mereka. Monday seharusnya mengatakan yang telah ia lakukan.

Setelah sebulan yang lalu mengalami situasi yang rumit. Sekarang, semuanya tampak terbiasa. Terlalu biasa hingga Sunny terbiasa untuk menjauh dariku.

Gadis itu selalu menghindar ketika kita berada di lorong yang sama. Selalu menundukkan kepala di saat kita tak sengaja berpapasan. Tak pernah ke kantin, tak pernah ke UKS lagi. Dia benar-benar menjauh, aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Aku tidak ingin gadis itu berusaha terlalu keras hingga menyakiti hatinya. Atau aku yang tak ingin dia untuk selalu menjauh.

Saat upacara bendera hari ini, aku baru sadar akan satu hal. Ternyata barisan kelasnya tepat berada di sebelahku. Gadis itu berbaris paling akhir, aku sedikit merasa lega bisa melihatnya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku melangkah untuk menuju ujung belakang barisan. Sunny tepat berada di sampingku, dia hanya diam dan sedikit menunduk. Ia membuatku mengulas senyum.

Di saat teman di depannya asyik mengobrol. Sunny hanya diam memperhatikan, dia tampak mengerutkan sedikit alisnya. Peluhnya juga terlihat berbulir di pelipisnya. Apa dia sakit? Kenapa dia tidak ke UKS seperti biasanya?

Aku sangat ingin menariknya agar tak mengikuti upacara. Menanyakan apakah kamu baik-baik saja? Bisakah kamu tetap berdiri dalam 30 menit ke depan? Sunny, bisakah kamu tak menjauhiku? Gadis itu terlalu jelas menjauhiku, ini membuatku sangat sadar.

Saat pemimpin upacara memberikan intruksi untuk mengistirahatkan peserta upacara. Tiba-tiba, gadis di sebelahku sedikit kehilangan keseimbangan. Dengan segera aku menggerakkan kedua tanganku untuk menopang punggungnya. Sunny pingsan dalam dekapanku.

Seorang siswi datang menghampiriku dan berkata, "Biar anak PMR yang bawa ke UKS, Kak ... Chandra ... Sunday?"

"Aku bisa membawanya sendiri," sahutku. Salah satu tanganku dengan cepat meraih tekukkan lututnya. Aku berjalan cepat menuju ke UKS, Sunny benar-benar tak sadarkan diri dan wajahnya tampak sangat pucat. Tentu ini membuatku sangat khawatir.

Sesampainya di sana, aku membaringkan Sunny dengan pelan di atas ranjang UKS. Seorang siswi yang bertugas di UKS datang menghampiriku dengan membawa botol minyak kayu putih kecil. Aku hendak meraihnya, tetapi seseorang memanggil namaku.

"Kak Chandra."

"Monday, ada apa?"

"Bisa bicara sebentar?"

Aku hanya melihatnya tanpa membalas ucapannya. Namun, seakan mengerti dengan rasa penasaranku. Dia berjalan lebih dulu meninggalkanku. Mau tidak mau aku harus mengikutinya.

Monday mengajakku ke gudang di dekat sana. Dia berhenti di tengah-tengah ruangannya dan menatapku dengan ekspresi yang susah aku deskripsikan. Kenapa aku merasakan kesedihan dari sorot matanya?

"Kau ingin mengeroyokku lagi?" tanyaku langsung kepadanya. Suasana dan kondisinya mendukung jika itu benar terjadi.

Monday tersenyum dan menggeleng. "Aku tidak akan melakukan itu, Kak."

Aku mengernyit, Monday mendekatiku dan memelukku. Dia membuatku terdiam. Apa yang gadis ini lakukan? Dia ingin aku menjadi kekasihnya, setelah semuanya?

"Kak, tolong buat kakakku tersenyum," lirihnya dalam pelukanku.

"Apa maksudmu?" tanyaku kepadanya. Monday masih memelukku, ia mulai terisak pelan. Aku sedikit kaget dengan tindakannya, tetapi tanganku tak tega untuk menjauhkannya. Aku mulai menepuk punggungnya pelan tanpa berkata satu katapun.

The Thing He Has: A Purple Letter [END]Where stories live. Discover now