02. Hari Ini, Cukup Menarik

101 62 185
                                    

Pagi ini, aku tidak mau berangkat sekolah bersama saudariku lagi. Coba bayangkan, bagaimana bisa ia menghilangkan surat ungu yang aku buat sedemikian rupa untuk idolaku? Jangankan sampai kepada orang yang aku tuju, siapa yang menemukan saja aku tidak bisa memikirkannya.

Kak Satur sudah beberapa kali membujukku agar mau memaafkan Momo. Berkat usaha Kak Satur, aku sudah memaafkan Monday, tetapi untuk kali ini, aku tidak mau bersama dengannya untuk sementara. Kemarin hanya surat, bagaimana jika ia menghilangkanku kali ini?

Aku berjalan dengan cepat dari gerbang sekolah menuju ke kelas. Sungguh, mood yang sedang buruk ditambah sedang jengkel, aku tidak bisa menyapa siapapun yang lewat. Menularkan mood buruk itu tidak bagus, akan lebih baik langsung ke tempat tujuan.

Mungkin karena terlalu terburu-buru, tanpa sadar aku malah menabrak punggung seseorang di depanku. Seorang anak laki-laki yang lebih tinggi dariku, menabrak punggung dan tas yang sekeras tembok antara diriku dan Moonarka. Astaga, pantatku agak nyeri setelah menghantam lantai dingin dan keras di bawah. Sebenarnya ingin marah, namun itu semua urung karena di sini aku juga bersalah.

Anak itu, benci untuk aku katakan, tetapi dia tidak menolongku. Bukan mengulurkan tangan atau sekadar menanyakan keadaanku. Selain tatapan datar, wajahnya yang tidak bersahabat menambah mood burukku semakin hancur. Dia berjalan meninggalkanku, tanpa sepatah katapun.

"Minta maaf!" teriakku setelah bangun dari lantai tadi. Aku menatapnya nyalang, yang seperti ini tidak bisa aku biarkan. Tak acuh jika ini bukan sepenuhnya salah dia, sikap dinginnya membuatku untuk menegurnya.

"Untuk apa?" tanyanya datar. Kali ini emosiku memuncak.

"Kamu bertanya? Kamu membuatku jatuh, tidak merasa bersalah?"

Dia berjalan mendekatiku beberapa langkah. Menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Sedikit lama, bahkan dia melihat sampai ke ujung sepatuku. Apa dia sedang menilai strata sosial dari penampilanku?

"Kau yang menabrak punggungku. Kau yang salah, kenapa aku yang harus minta maaf?" tanyanya dengan raut wajah datar yang tidak aku suka, terlihat sombong.

"Astaga." Aku mendecih setelah mendengar perkataannya. "Di sini aku adalah korban, aku lebih merasa sakit dibanding dirimu!"

"Jadi, pemikiranmu hanya dari rasa sakit bukan dari benar atau tidaknya? Jika posisinya dirubah, apa kamu akan tetap memintaku untuk meminta maaf karena telah menabrak punggungmu?"

"Aku tidak peduli, kau harus ...."

"Sun! Sunny!" Momo sedikit berteriak, aku menoleh ke belakang. Aku baru sadar, kegiatanku malah menimbulkan kerumunan orang di lorong.

"Kak Chandra, maafkan kembaranku. Sunny, kamu harus lebih berhati-hati! Ayo, ke kelas! Kak Chan, semoga harimu menyenangkan!"

Momo memegang bahuku dan membawaku menuju kelas. Aku sedikit memberontak dan berkata jika seseorang yang dia sebut 'Chandra' itu belum meminta maaf. Namun, Momo tidak peduli, dia terus mendorongku agar tetap berjalan menjauh. Ada yang berbeda kali ini, saat sebelumnya dia menatapku datar, sekarang kerutan di alisnya sedikit terlihat. Apa dia sedang berpikir jika dirinya sudah salah kepadaku? Iya, dia salah, tetapi tidak meminta maaf kepadaku!

"Momo, kamu kenapa, sih?" keluhku kepadanya saat sudah berhasil duduk di bangkuku.

"Harusnya aku yang tanya, kamu itu kenapa? Aku minta maaf soal kemarin, Sun."

"Sudah aku maafkan."

Momo menghela napas gusar. Ia kemudian duduk pada kursi di sebelahku. Tasnya dia bawa ke depan dan menarik resleting depannya. Sebuah lipatan kertas berwarna ungu terlihat. Aku agak mengernyit melihatnya, apa dia membuat itu?

The Thing He Has: A Purple Letter [END]Where stories live. Discover now