04. Tertarik

62 35 64
                                    

Hari ini di lorong seperti minggu lalu, aku kembali bertemu dengan pemuda menyebalkan itu. Kita hanya berpapasan, tetapi dari kejauhan dia sudah menaikkan emosiku. Dia berhutang maaf kepadaku, dan aku akan baik jika dia sudah mengatakannya.

Dia berhenti, aku sedikit kebingungan harus berbuat apa. Tanpa sadar, aku juga ikut berhenti. Menatapnya tajam hingga dia terkekeh sok tampan.

"Kau mau apa sebenarnya?" tanyanya kepadaku.

"Minta maaf!" desakku.

"Masih ingin maaf dariku, kau itu haus kata maaf atau apa?"

Aku menatapnya datar, beberapa orang ada yang melihat dari kejauhan, ada beberapa yang mendekat. Napas kuhembuskan pelan, aku tidak akan lelah sebelum dia meminta maaf. Namun, tiba-tiba seseorang menarik diriku.

"Kak Chandra, maafkan kakakku, ya. Sunny ayo kembali ke kelasmu." Momo lagi-lagi menarikku paksa.

"Mo, dia belum minta maaf. Enggak, nggak! Lepasin dulu!" Aku mulai memberontak dengan mata yang masih menatap lekat ke kakak sombong itu.

Dia tersenyum miring kepadaku. Kakinya mulai melangkah mendekat. Berhenti tepat di depanku, Momo juga menghentikan langkahnya. Senyum manis dia kembangkan kepada kembaranku. Aku masih menatapnya tajam, hingga detak jantungku semakin berdetak cepat saat ia secara tiba-tiba mendekatkan wajahnya di hadapanku. Helaan napas keluar, tubuh terasa kaku, bibirku serasa kelu, dia semakin mengulas senyumnya.

"Maaf, Sunny," katanya pelan dengan senyum tipis yang masih ia tampilkan.

"Ini yang kau inginkan, kan?" Kali ini dia berbicara dengan nada lembut. Mataku benar-benar tak bisa menatap ke arah lain, dia seperti magnet. Anggukan halus tanpa terasa aku lakukan, dia masih tersenyum miring---seketika aku tak suka dengan senyumannya.

Namun ....

Plak!

Tanganku refleks menampar wajahnya. Jangan tanya padaku kenapa, aku juga tidak sadar melakukan ini. Mataku masih menatapnya tajam, dalam lubuk hatiku, aku merasa diremehkan. Maaf yang tulus, itu yang tidak aku nilai dari wajahnya.

"Kita impas," kataku yang langsung berlalu menuju ke kelas.

"Sun! Sunny! Astaga! Kak Chandra, aku meminta maaf untuknya." Momo memanggil namaku beberapa kali dan berlari kecil mendekatiku.

"Istirahat kedua, datang ke rooftop. Permintaan maaf tulus akan kau dapatkan," ucapnya yang sempat membuatku berhenti. Aku hanya menggerakkan tangan ke atas dengan siku ditekuk dan melambaikannya kecil sambil berkata, "Aku tidak butuh."

Perkataan maafnya sudah tidak membuatku tertarik lagi.

***






Gadis itu, apa sebenarnya yang dia inginkan? Menampar pipiku dengan mudahnya dan berkata jika tidak perlu minta maafku? Sedari awal, dia sendiri yang memaksaku meminta maaf. Lalu, apakah minggu lalu sepenuhnya salahku? Mata rabunnya itu juga bersalah. Cih, aku sangat muak dengan gadis sok dan aneh sepertinya.

"Chan! Ayo ke kelas, Kawan!" Ren tiba-tiba mendorong tubuhku agar bergerak menuju kelas. Aku hanya menghela napas dan melepaskan diri dari dorongannya. Berjalan agak cepat dengan tatapan datar seperti biasanya.

Sesampai di kelas, Ren menjejaliku dengan banyak pertanyaan. Astaga, orang yang satu ini selalu bertanya-tanya dengan segala hal yang tak biasa ataupun jarang aku lakukan. Jika dia berkumpul dengan tetangga yang suka ngerumpi, aku tidak akan terkejut.

"Bagaimana kamu bisa kenal, Monday?"

"Kau punya nomor ponselnya?"

The Thing He Has: A Purple Letter [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang