💜01. Suratnya Hilang!

143 78 242
                                    

Aku ke sekolah berjalan kaki dengan kembaranku yaitu Monday alias Momo. Kita satu sekolah, tetapi beda kelas. Dia IPA dan aku IPS, dia pintar dan aku tak sebaik dia. Untungnya, dia bukan saudari kembar seperti di sinetron-sinteron yang bersifat antagonis. Atau mungkin baginya, aku yang antagonis?

"Mo."

"Hm."

"Momo."

"Kenapa?"

"Nggak sih, manggil saja."

"Aneh."

Berarti ... aku bukanlah si antagonis, tetapi Momo! Adik macam apa yang mengejek kakaknya sendiri? Mengatakan 'aneh' jika memanggil. Bukankah dia itu yang aneh?

Kita berjalan bersama, tidak ada obrolan sama sekali. Aku sibuk dengan langkah kakiku, sementara ia sibuk dengan pikirannya. Memang harus berjalan hati-hati karena aku tidak suka jika sepatuku menguarkan bau. Apalagi dari sesuatu yang aku injak di jalanan. Itu sangat menjijikkan!

Memasuki gerbang, kami menyapa Pak Satpam. Aku ikut tersenyum saat Momo menyapa siswa dan siswi lain. Lalu,  aku melihat ke sekitar sambil berjalan dan berakhir dengan berjalan di lorong yang berbeda setelah tangga. Sudah kubilang jika kita beda kelas, 'kan?

Saat memasuki kelas, semua seperti biasanya. Ada yang menyalin pr; menjalankan tugas piket; mengobrol dan menonton bersama pada ponselnya, entah mereka menonton apa. Aku mulai duduk di kursiku, melepas pegangan tas, memperbaiki postur duduk, mengeluarkan handphone dan menjelajahi  sosial media.

Aku mulai mencari berita-berita tentang Moon. Update terbarunya, hingga jadwal resmi yang akan dia lakukan. Mungkin, ini terlihat berlebihan. Seharusnya aku tidak perlu mencari hal kecil dan terbaru dari Moon. Namun, segala hal yang sering membuatku tersenyum adalah ia. Dia adalah Moonarka Rayyakastra, idolaku.

***





Halaman parkir sudah semakin sepi, tetapi saudariku Momo belum tampak keluar dari sekolah. Aku menunggu di luar gerbang bersama orang-orang yang mendapat jemputan. Semuanya asyik mengobrol, waktu mereka pasti tak terasa. Sementara aku rasanya seperti anak hilang saja. Mau membuka obrolan sungkan, selebihnya aku merasa malu.

Dua puluh menit, orang yang aku tunggu sudah datang. Dia tampak tersenyum, bahagia sekali. Jika ini adalah dunia komik, maka aku pastikan jika disekelilingnya dipenuhi bunga-bunga. Sepertinya ada sesuatu yang membuat mood dan hatinya menjadi bagus. Aku suka saat dia bahagia.

"Kau kenapa?" tanyaku dengan tatapan menggoda.

"Tidak. Ayo, jalan," ajaknya dengan raut wajah yang berubah disertai nada datarnya. Namun, aku bisa melihat kurva tipis di bibirnya. Dasar! Bersamaku masih saja berperilaku serius. Padahal dia tersenyum manis sebelumnya.

Seperti biasa, kita berjalan tanpa obrolan. Aku menyapa setiap pedagang yang lewat, kali ini Momo yang hanya diam dan mengikuti sapaanku kepada yang lain. Berbeda dengan di sekolah, Momo lebih banyak punya teman dibanding dengan diriku. Dia memang mudah bergaul, hampir semua yang dia sapa adalah orang yang ia kenal. Kami sangat berbeda, 'kan?

"Jadi, nanti cuma kirim surat aja?" tanyanya dan aku mengangguk antusias, mengiyakan pertanyaannya.

"Memang bisa itu saja?" tanyanya lagi. Rautnya tampak tak yakin kepadaku. Ya ampun, apa dia tidak tahu jika aku adalah takdir seorang Moon?

"Ya, nggak tahu. Kan aku baru pertama kali mengirim," jawabku sambil tersenyum jahil.

Momo tampak menatapku dengan malas, aku hanya menyengir. Dia kembali diam, kemudian menoleh ke arahku lagi. Aku langsung menatap ke arahnya dan menyengir lagi.

The Thing He Has: A Purple Letter [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt