11. Semakin Dekat

31 24 17
                                    

"Kak Chandra, kenapa ke UKS, lagi?"

Aku menoleh ke arah sumber suara, dia---gadis tempo lalu---yang menanyakan perihal seberapa banyak orang akan berpikir menggunakan nama Chandra. Sudut bibirku sedikit naik, dia juga menoleh ke arahku dalam posisi tidur.

"Kita seperti pasien tetap UKS ini," ujar gadis itu lagi.

"Kau, kenapa berada di UKS?"

Mata kami masih tertaut, sampai beberapa detik kemudian ia tersenyum dan menatap langit-langit.

"Hanya ingin, tak ada yang mencegahku. Guru percaya dan teman tak ada yang peduli. Jadi, aku berpikir untuk ke UKS sambil tiduran."

Sunny memiringkan tubuhnya ke arahku. Dia tersenyum dan berkata, "Jadi, ini bukan masalah kelasnya tetapi gurunya. Sekarang, guru mana yang memberikan siswa di kelas akhir membolos setiap hari Senin?"

"Kau pikir aku membolos?"

Aku memiringkan tubuhku ke arahnya. Dia mengedikkan bahunya masih dalam posisi tidur yang sama. Aku terkekeh mendengar perkataannya tadi. Ya, setengahnya itu tepat.

"Hanya mengerjakan tugas, tugasku sudah selesai."

"Wah, seenak itu jika sudah di kelas akhir?" tanyanya antusias.

Aku tidak membalas ucapannya, posisi tidurku kini terlentang. Tatapanku tak fokus ke depan, aku merasa ada pemikiran semrawut tentang Sunny. Selama dua minggu terakhir, ia tampak lebih mudah tersenyum dan bersinar.

"Aku ingin cerita," ujarnya lebih dulu, sebelum aku berniat untuk bertanya tentang alasannya yang seceria matahari.

"Katakanlah," sahutku kepadanya.

"Ah, aku bingung harus bercerita kepada siapa. Namun, aku benar-benar ingin bercerita, aku tak punya teman," lanjutnya.

"Kau tak menganggapku sebagai temanmu?" Aku secara cepat melihat ke arahnya. Dia masih tetap dalam posisi yang sama, menatapku sambil tersenyum.

"Kau, Kakak kelasku," balasnya.

"Itu saja?"

"Hu'um!" tegasnya sambil menghentakkan kedua kaki ke arah di depan telapak kakinya---ia masih dalam posisi tidur menyamping ke arahku---kakinya terhentak sekali dengan pergerakan cukup kentara di mataku.

"Jangan bercerita," titahku kepadanya. Gadis itu sekarang cemberut menatapku.

"Ah, kenapa?" Gadis itu merengek dalam posisi yang sama. Tidakkah dia sadar? Jika aku bukan temannya, lalu untuk apa ia bercerita kepadaku?

"Aku bisa mengatakan ceritamu kepada banyak orang karena bagimu ... aku hanya seorang kakak kelas," balasku yang secara perlahan bangkit untuk duduk di tepi ranjang menatapnya.

"Tapi kamu memang kakak kelasku," sahutnya polos sembari dirinya yang mengikuti gerakanku. Kebiasaannya setelah itu adalah mengayunkan kedua kakinya ke dalam ruang kosong di bawah ranjang. Kedua kaki pendeknya memang mampu untuk mengayun sempurna tanpa halangan.

"Tch, dasar bodoh," cibirku. Aku menatapnya malas, sementara dia menampilkan raut kebingungan.

"Tak apa, aku akan bercerita." Sunny kembali tersenyum ke arahku. Tolong catat jika aku tidak akan tergiur dengan senyumannya itu dan ikut tersenyum.

"Aku bertemu dengan Moon." Gadis itu berkata dengan senyum mengembang cantik dan kedua tangannya yang begerak untuk menutup mulutnya. Seakan itu adalah hal yang baru saja terjadi---raut tak percaya dan bahagianya masih terasa alami---Moon terlalu banyak mengambil alasan dari senyumnya. Menyebalkan.

"Bagaimana bisa?" tanyaku mencoba sedatar mungkin. Sunny menceritakan semuanya dari awal yaitu bertemu di minimarket tanpa sengaja.

"Aku bahkan sempat berpikir jika dia anak koruptor dengan jumlah isi dompet penuh akan kertas berwarna merah muda yang tebal dan membuat dompet mengembung begitu. Tetapi, setelah aku memperhatikan secara saksama, aku tahu itu dia," ujarnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dengan cepat dia menghentakan kakinya, dengan cepat juga dia merebahkan dirinya sambil menggeliat bahagia.

The Thing He Has: A Purple Letter [END]Where stories live. Discover now