36 : Asem Kecut Gula Legi

Mulai dari awal
                                    

"Fillah, Ilana." Ustadzah Marwah memanggil, yang lantas disahuti oleh empunya. "Bunda tahu kalian sudah sah, sudah halal mau melakukan apa pun. Berbeda dengan yang dulu. Tapi, jangan di ruang tamu juga. Kalau ada yang lihat, bagaimana? Masih untung kami yang memergoki kalian, apatah kalau yang memergoki itu santri? Bisa gempar kalian jadi bahan bulan-bulanan," ujar Ustadzah Marwah memberi saran.

"Bunda..." panggil Fillah lirih, seakan-akan tengah merengek karena dituduh yang tidak-tidak. "Apa perlu Fillah jelaskan kayak waktu itu, tentang apa yang sebenarnya terjadi?"

"Nggak perlu, Nak." Sang bunda menggelengkan kepala dengan masih terkekeh kecil mendengar suara anaknya. "Tapi, kalian harus tanggung jawab, lho. Gordennya rusak. Kalian yang harus memasangnya besok."

"Na'am, Bunda."

Kedua netra keabu-abuan Ustadzah Marwah beralih melempar pandang pada sang menantu keduanya. "Kasihan menantu Bunda. Pasti nggak nyaman, ya, ada di posisi seperti saat ini? Maaf, ya, Sayang."

"Tidak apa-apa, Bunda."

"Adik ipar."

Ilana menoleh ke arah Fahmi yang memanggilnya, dan menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk. "Na'am, Bang?"

"Tolong sampaikan ke suami kamu, kalau mau ngajakin, ya, bilang password-nya dulu. Jangan sok cemen. Gengsi kok dipelihara," pesan Fahmi pada Ilana yang tak dapat adik iparnya itu pahami apa maksud dari perkataannya.

"Apaan, sih, Abang!" Fillah mendengkus begitu mendengar penuturan sang kakak. Meski menggunakan kata kiasan, tetapi Fillah mengerti maksud dari ucapan kakaknya. Dan lagi pula, mereka masih berada di ruangan yang sama, masih dapat bertatap muka satu sama lain, lantas kenapa mengatakannya pada Ilana? Kenapa tidak langsung saja?

"Biasanya kamu nggak peka," timpal Fahmi.

"Abang ngaca juga, dong. Ingat anak sama istri. Abang juga nggak peka orangnya," balas Fillah. "Bukan begitu, Mbak?" tanyanya pada Nabila, yang lantas dibalas anggukan oleh perempuan tersebut.

"Jangankan peka, dikasih kode saja nggak paham-paham."

Fillah tergelak mendengarnya. Ia menatap Fahmi dengan raut wajah mengejek dan menggerakkan bibirnya, lalu berkata lirih, "Mampus kau!"

"Kamu, kok, bilangnya begitu, Yang?" tanya Fahmi pada istrinya dengan nada manja. Yang membuat Fillah ingin sekali memanggil semua santri untuk menyaksikan sendiri bagaimana calon Kyai mereka bertingkah layaknya anak kecil.

"Bila cuma mencurahkan isi hati, Mas."

"Nah loh, Abang harus berubah, ya. Kasihan Mbak Nabila dan Hanin jadi korban," ujar Fillah sembari yang masih tergelak, seolah puas membalas Fahmi.

"Berlebihan kamu, Dek. Ingat, Ilana juga jadi korban gengsimu."

Ilana memandang orang-orang di sana dengan mengernyitkan kening. Kenapa namanya dibawa-bawa dalam guyonan kakak beradik itu?

"Sudah, Bang, jangan diteruskan lagi bercandaannya. Fillah juga. Sekarang sudah malam, sebaiknya kalian istirahat," lerai Ustadzah Marwah yang sebenarnya sudah lelah meladeni kedua anaknya yang mau dibilang akur, tetapi mereka saling membalas cibiran, mau dibilang tidak akur, tetapi mereka juga memiliki sikap kekeluargaan. Pun kasihan dengan Ilana yang terlihat sudah diselimuti kantuk meski tak terlalu ketara, tetapi tetap di sana dan turut menjadi korban candaan mereka.

"Siap, Bunda," jawab kedua anak dan kedua menantunya bersamaan.

"Kalau Fillah sama Ilana, mau pulang atau menginap di sini?"

Serambi MasjidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang