34 : Api dan Air

10.4K 1.1K 196
                                    

(Jangan lupa vote dan komen, ya)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Jangan lupa vote dan komen, ya)

"Layaknya air dan api, kita memiliki peluang untuk saling menyakiti."

– Serambi Masjid –

-
-
-

Perlahan, jemarinya mengusap pada kain rajut berwarna biru laut yang ada dalam genggaman. Belah bibirnya membentuk senyuman, menambah lipatan-lipatan di sekitar pipi dan kantung matanya. Sementara netra yang mulai rabun lantaran faktor usia itu, memperlihatkan binar-binar bahagia, sembari sesekali menatap ke luar jendela, di mana para anak didik yang terkurung dalam penjara suci itu tengah berlalu-lalang.

Sayup-sayup suara decitan pintu ia dengar, disusul dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Di tengah renungannya yang khusyuk, sebuah pelukan hangat ia rasakan dari tangan kekar yang menjulur ke depan. Satu kecupan di pipi kanan ia dapatkan dari seseorang di belakang, yang tak lain adalah dari anak laki-laki yang selalu menjadi kebanggaan.

"Assalamu'alaikum, Bunda."

"Wa'alaikumussalam, Nak," balas perempuan paruh baya itu yang tak lain adalah Ustadzah Marwah. Jemarinya beralih mengusap penuh sayang pipi sang anak yang tengah bertengger di pundaknya.

"Bunda kenapa di kamar Fillah?" tanya laki-laki itu. Pasalnya, sudah sedari tadi ia mencari sang bunda dan tak mendapati eksistensinya di rumah tersebut, tetapi ternyata tengah berdiam diri di kamar anak keduanya yang kini kosong tak berpenghuni.

"Abang?" Alih-alih menjawab, Ustadzah Marwah menyerukan panggilan sayangnya pada sang anak.

"Iya, Bun?" Laki-laki bernama Fahmi itu lantas mengikuti arah pandang Ustadzah Marwah ke arah kain rajut yang perempuan itu pegang. "Itu baju rajut Fillah saat masih bayi, 'kan, Bun?" tebaknya yakin.

"Ya." Ustadzah Marwah memberi anggukan.

Fahmi beralih duduk di samping ustadzah Marwah. Ikut menyentuh kain rajut yang terdapat bordiran nama sang adik yang tampak begitu apik. Itu adalah baju kesayangan Fillah sewaktu bayi hingga balita. Fahmi juga memiliki yang serupa, hanya saja, berbeda model.

"Abang masih ingat, Bun, dulu Fillah sayang banget sama baju ini. Saking sayangnya, sampai saat tubuhnya gemuk, baju itu tetap dipakai meski terlalu sempit," kata Fahmi, mengenang memori akan masa kecil Fillah.

Ustadzah Marwah kembali membuka suara dan melanjutkan kalimat Fahmi, "Iya. Fillah jadi sayang banget sama baju ini setelah mendengar sendiri cerita bagaimana Bunda membuatnya dengan susah payah."

"Fillah sampai lari-larian, menghindar dari Bunda yang mau mengganti bajunya dia, dan berakhir nangis karena nggak mau. Nangisnya nggak berhenti-berhenti, kecuali Ayah pulang dari majlis dan membacakan surah ar-Rahman untuk Fillah," imbuh Fahmi sembari terkekeh. Adiknya itu memang akan luluh dari rasa kesal atau sedihnya ketika sang ayah datang dan langsung menenangkannya dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, terutama surah ar-Rahman.

Serambi MasjidWhere stories live. Discover now