5. Dana: Project Universe

289 37 3
                                    

DANA
"Project Universe"

○●○

Aku berlari sekuat tenaga menuju halte bus sambil membawa tas kerja. Kakiku yang terhimpit sepatu hak membuatku meringis kesakitan. 

Di depan bus, aku menginjakkan kaki ke anak tangga sebelum mengusap peluh yang menempel di kening. Tornado yang terlihat jelas di depan mata menandakan bahwa aku butuh asupan oksigen untuk mengembalikan penglihatanku sebelumnya. 

Aku melihat arloji di tangan yang hampir terselip akibat keringat. Sudah lima belas menit berlalu sebelum aku seharusnya menjemput Lucy. Aku tidak bisa terus melakukan ini, tidak ingin membuat gadis tersebut kesepian lagi, tidak selama lima tahun dia dilahirkan di tengah-tengah dunia mengejamkan ini.

Lalu bagaimana caraku untuk menghabiskan waktu bersama Lucy jika aku harus bekerja untuk kami? Jika aku selalu sibuk dengan laptop dan gadget yang selalu terpampang di depan wajah saat aku di rumah? 

Tidak terpungkiri bagiku untuk berada di titik momen ini. Bagaimana bisa terjadi? Apa aku harus menurut kepada kedua orang tuaku untuk mengubah dunia ini? Apa aku sepatutnya mendengarkan ucapan menusuk mereka yang membuatku berdarah? No ... no, I can't do that to her, because if there is one person between Lucy and I, I will let myself bleed over and over again.

Lucy merupakan fenomena terbaik yang pernah aku alami seumur aku melihat rotasi bumi semenjak lahir; sebuah bintang jatuh pemberi harapan di tengah kehidupan malang dan mengenaskan in—ah ... aku sangat pandai mendramatisir kata-kata.

Saat ia pertama kali menatapku dengan mata lebarnya, aku tahu bahwa aku akan baik-baik saja. Meskipun ada badai atau tornado yang menyerang semua hal yang aku punya, hanya dengan Lucy di dekapanku, aku akan merasa baik-baik saja. Kehangatan tubuhnya di pelukanku terus mengingatkanku tentang kami sebagai keluarga.

Terkadang aku juga bertanya mengenai kenapa lintang waktu dunia ini terasa seperti dipaksa. Aku tidak tahu apakah aku sanggup untuk menembus lebih dalam waktunya atau menyerah hingga menyisakan titik bendera putih di atasnya. Rasanya aku terus-menerus menelusup masuk ke dalam pasir hidup meskipun aku diam dan tidak berkutik.

Tidak! Aku tidak bisa. 

Lucy merupakan dunia yang aku inginkan. 

Aku selalu berkata kepada diriku tentang bagaimana dunia yang terasa seperti tidak berada di pihakku. Rasanya seperti pahlawan super yang bergerak melawan ratusan alien yang menganggapnya sebagai ... musuh.

Sangat malang.

Menyedihkan.

Tapi paling tidak mereka punya kekuatan super yang dapat menemani kehidupan malapetaka mereka, seperti Lucy yang menjadi kekuatan superku setiap aku bersamanya.

Lucy menggerakan ilmu magisnya kepadaku, membuatku menjadi seseorang yang lebih kuat meskipun harus jatuh setiap waktu. Lucy membuatku kuat, dan aku selalu membuatnya sedih.

Seperti sekarang.

Aku turun dari bus, berjalan menuju ke taman kanak-kanak sekaligus tempat penitipan anak. Aku sudah paham denah tempat ini, sudah paham semua batu mengganjal aspal yang kadang membuatku tersandung, juga tempat makan burung tergantung di pohon yang selalu dipenuhi dengan tupai liar. 

Memasuki ruangan, aku melihat Bu Meena yang duduk di meja resepsionis, memegang satu kertas yang sudah aku kenal betul bentuknya sebelum menyerahkannya kepadaku.

"Selamat sore, Bu Meena. Maaf aku telat hari ini." Aku menandatangani kertas tersebut sebelum memberikannya kembali kepada wanita tersebut.

"Dia masih ada di ruang gambar." Ia mengangkat dagunya ke arah ruangan yang terlihat suram. Semua tirai sudah ditutup, begitupun juga dengan pintu-pintu kaca yang menyambungkan satu ruangan dengan ruang lainnya. Ada beberapa anak lainnya yang masih ada di penitipan anak, sepertinya Lucy bukan satu-satunya anak yang dijemput telat. Aku juga berharap jika semua ini dapat menjadi poin penting bagiku sebagai orang tua untuk tidak datang terakhir menjemput anak mereka.

Reverie's Project [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora