・༓☾ 06. Kepergian Sang Ayah ☽༓・

18 3 0
                                    

Hallo, Camaraderie Gengs👋🌞🌻

Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia, ya❤

Ketik 'Iyan' sebelum lanjut baca👉

Kalau udah, mari, taburkan banyak-banyak cinta untuk cerita ini💞

Happy reading🥰
.
.
.
・༓☾ ☽༓・

"Bun, bilang sama Iyan kalau ini cuma mimpi, kan, Bun?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bun, bilang sama Iyan kalau ini cuma mimpi, kan, Bun?"

"Bun, tolong bangunin Iyan dari tidur. Iyan nggak suka mimpi kayak gini, Bun! " teriaknya lagi, berusaha menahan isakan yang akan keluar dari bibirnya.

"B-bunda ... Ayah nggak beneran pergi ninggalin kita, kan?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara lirih. Menatap sang bunda, menuntut penjelasan.

"Ay, Ayah masih di rumah, kan? Yang ada di sini bukan Ayah, kan, Ay?" Kali ini tatapannya mengarah pada gadis di sebelahnya, yang sejak tadi bahkan sudah mengeluarkan air mata.

"Yan," kata Raya, mengusap pundak Ryan lembut. Seolah sedang memberinya kekuatan. "Yang kamu alami sekarang bukan mimpi, ini nyata, Yan. Ayah udah pergi," jelasnya, kali ini dengan kepala menunduk, menatap pusaran bertuliskan Alan Pratama di sebuah nisannya.

Ryan menggeleng kuat, matanya menatap lagi ke arah makam milik sang ayah, masih dengan pandangan tak percayanya. "Nggak, nggak mungkin! Ini pasti cuma mimpi. Setelah aku bangun, Ayah pasti masih ada di kamar. Ayah masih ada, Ayah nggak boleh pergi ke mana-mana, Ayah!" serunya, memukuli tanah basah berulang kali, membuat tangannya berwarna kecokelatan, kotor.

Kondisi Bunda Ryan juga jauh dari kata baik-baik saja. Wanita itu menyusutkan air mata dalam diam. Memeluk Bintang yang hanya diam, gadis kecil nan polos itu sepertinya belum paham dengan keadaan sekitar yang terjadi pada keluarganya.

Tangan Bunda kemudian terulur, mendekap Ryan bersama Bintang, begitu pula dengan Raya. Keempat orang itu berpelukan, saling menguatkan dalam diam.

"Ikhlas, ya, Nak. Ayah udah tenang, kita doakan Ayah sama-sama dari sini, ya," lirih sang bunda. Masih mencoba menguatkan di tengah keterpurukannya sendiri. Benar, bunda adalah sosok kuat, bahkan di tengah rasa sedihnya dia masih sanggup untuk menguatkan kedua anaknya.

Dan saat itu pula, bahu Ryan bergetar sangat hebat dengan isakan tangis yang tertahan. Memeluk bundanya erat. Kini dia menyadari bahwa semua yang terjadi saat ini bukanlah mimpi belaka, bukan bunga tidurnya, melainkan kenyataan yang harus dia terima.

・༓☾ ☽༓・

Tiga hari Ryan hanya diam di kamar, duduk di sudut dekat lemari, menekuk lutut dan menyembunyikan tangisnya di antara lekukan tersebut.

Camaraderie | EndWhere stories live. Discover now