48. Sebuah Syarat

5.6K 1K 510
                                    

Warning dikit 🚫

Warning-nya di sini aja soalnya kalo di judul nanti pada baca lompat-lompat (hayolooo, keliatan di statistik wkwk. Yang baca meledag, yang vote dikiittt mwehehe manusiawi banget kek gantistatus pun gitu si *heh 🥲)

Di sini
AYO VOTE DULU ❤️

Komen juga biar ramehhh🌝

🤼🤼

"Lo tau gue cuma pengin yang terbaik buat lo, Al."

Setelah diam cukup lama dengan napas yang serasa tertahan, lidahnya kelu dan suaranya tercekat di tenggorokan, pada akhirnya Albert berusaha menimpali kalimat terakhir yang Vira lontarkan.

"Thanks." Suara Albert ditekan kuat. Pandangannya terarah tajam ke perempuan yang kini membalasnya dengan senyum teduh.

"Sama-sama." Vira mengangguk kecil. Geraknya terbatas hingga ia tidak bisa mendekat ke Albert. Sekadar meraih tangan lelaki di depannya pun tidak sanggup ia lakukan. "Apa lo mau kabulin permintaan terakhir gue?"

Albert tak menjawab. Terlalu banyak kecamuk di dadanya yang berusaha ditahan agar tidak terlampiaskan. Perkataan Vira tentang Salsa yang membahas perihal anak. Yang berterima kasih karena ketiadaan janin Vira. Yang mana itu adalah alasan keterpurukan Albert sebelum Salsa hadir di hatinya.

"Kalau bisa ... gue pengin lo dateng ke sini lebih sering," lirih Vira. Tangan kurusnya terangkat ke bagian kepala dan ia tertawa miris. "Keadaan gue udah kayak gini, rambut aja nggak ada sehelai pun. Mungkin gue hampir nggak ada di dunia ini. Kemoterapi bikin badan gue remuk, nyeri, sampai nggak sanggup berdiri. Temenin gue sampe gue nggak ada ya, Al."

Albert masih tak bereaksi. Dadanya sesak luar biasa mendengar permintaan Vira.

"Lo tetep akan nikah sama Salsa, itu nggak apa-apa kok. Kalian bisa datang berdua ke sini. Gue cuma pengen ... renungin dosa-dosa gue. Tiap lihat lo bikin gue sadar sesalah apa gue di masa lalu. Itu pun kalo lo dibolehin Salsa. Pasti nggak boleh ya." Vira tersenyum sedih. "Mungkin anak kita lebih benci ke gue ya, Al. Karena gue yang hilangin dia tanpa bilang ke lo, buktinya dia muncul terus di mimpi gue. Tapi lo ... lo kayaknya nggak pernah sama sekali dibayang-bayangi rasa bersalah."

"Vir—"

"Pesan gue cuma satu." Vira tidak mengizinkan Albert menginterupsi kalimatnya yang belum selesai. "Tolong bilangin Salsa. Jangan sekali-kali bawa-bawa tentang anak kita. Semua orang pernah salah di masa lalu. Tapi nggak seharusnya dia nambahin beban gue dengan lontarin terang-terangan. Gue percaya lo bisa didik dia lebih baik."

Tidak ada yang bersuara setelahnya. Albert menatap datar pada Vira yang memejam. Kadangkala meringis saat nyeri di punggung menghampiri.

"Kalo lo lebih wise lagi, lo bakal pertimbangin ucapan gue. Kita pernah salah sama-sama, Al. Harusnya kita tebus dosa kita sama-sama juga. Apa lo nggak takut karma? Gue udah ngerasain ini. Gue cuma takut lo nerima yang lebih parah dari gue."

"Mau lo apa?"

"Seenggaknya lo tunda pernikahan sebelum gue pergi. Cuma itu." Vira memberi senyum menenangkan, berusaha melunturkan ekspresi kaku di wajah Albert sedari tadi. "Gue berharap, kita bisa rasain sakit ini sama-sama, Al. Kita saling nguatin. Pagi, siang, malam, sampai gue nggak—"

"Lo minta gue nikahin?" tebak Albert. Tepat sasaran, Vira terdiam. "Gue cuma mau nikahin Salsa. Nggak peduli sesalah apa dia di mata lo, gue tetep akan nikahi dia."

Terjebak Ex ZoneDonde viven las historias. Descúbrelo ahora