7. Semua Hal

7.7K 1.3K 263
                                    

23:55

Selamat membaca, komen kalian menghibur banget :)

🤼🤼

Albert menahan senyum saat menyadari perubahan ekspresi Salsa. Tidak sekaku tadi, perempuan itu kini menatapnya dengan kening berkerut. Sepertinya kata-katanya sanggup melunturkan atmosfer ketegangan di antara mereka.

"Keren bos improvisasinya, saya cuma nyuruh minta waktu seumur hidup tapi Mas Albert ngerangkai kalimat sendiri. Jadi bangga nih saya. Terus Salsa-nya gi—"

Satu tangan Albert terangkat untuk melepas earpods di telinga, lalu memasukkan ke saku agar suara Joko tidak lagi memenuhi pendengarannya. Terima kasih pada Joko yang memonitornya lewat sambungan telepon. Albert bisa mati kutu tadi begitu lihat Salsa keluar toko, kalau saja Joko tidak mengarahkan.

Ini saatnya ia yang bergerak sendiri. Joko tidak perlu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Katakanlah ia bodoh, tidak bisa melakukan pendekatan dengan gayanya sendiri, tapi ini hanya antisipasi. Telah banyak kegagalan yang Albert lakukan dan berakibat fatal.

Lima menit yang sudah Salsa beri harus dimanfaatkan dengan baik. Ia tidak mau merusaknya di detik pertama. Sehingga meski telah banyak kalimat-kalimat di kepalanya yang ingin dilontarkan, tetap saja harus ada antisipasi kemungkinan terburuk.

"Bukan." Tiba-tiba suara Salsa terdengar. "Bukan time is up, but time is over. Karena lo sia-siain kesempatan lima menit dari gue."

Albert lihat sendiri gerakan Salsa yang tergesa untuk melewatinya menuju mobil. Ia masih tidak bergerak. Tapi saat Salsa hampir melewatinya, ia bergumam, "Karena lima menit nggak akan cukup. Bahkan seumur hidup juga nggak akan cukup buat gue nebus kesalahan gue ke lo."

Tepat di sampingnya, Salsa berhenti. Geraman Salsa juga terdengar kemudian. "Gue udah maafin lo."

"Belum, lo—"

"Udah!" tandas Salsa, suaranya gemetar meski penuh penekanan.

Albert menoleh ke kanan, lalu diam. Memilih setuju untuk percaya. Padahal ia tahu sendiri, sebegitu banyak luapan emosi dalam tatapan Salsa yang kini menjurus padanya. Ada selaput bening yang melapisi kedua mata itu, dan saat mengerjap meninggalkan titik air di bulu matanya.

"Kalo udah, artinya kita temenan," kata Albert. Senyumnya tersungging. Sorot matanya masih sehangat tadi.

Salsa mengalihkan pandangan, saat Albert sudah berbalik seluruhnya menghadap Salsa lagi.

"Gue pengin nebus kesalahan gue. Kalo lo nggak bolehin gue buat bahagiain lo seumur hidup, kasih gue kesempatan sebentar aja buat jadi temen lo. I'll be the great friend you ever had."

"Gue udah maafin lo, artinya lo nggak perlu nebus apa pun."

"Gue akan tetep datang ke sini nemuin temen gue."

"Lo batu banget ya!" Salsa kembali meninggikan suaranya. Mendapati Albert terus memaksa menerima kedatangannya yang tiba-tiba, jelas membuat Salsa kalut. Apa lelaki itu tidak mengerti?

"Gue cuma mau kita berteman baik." Albert masih mencoba mengulangi kalimatnya tadi.

"Lo emang hobi temenan sama mantan ya?" Salsa mendengus, lalu berubah kekehan saat menyadari satu air matanya berhasil lolos. Ia biarkan agar Albert tahu sebesar apa emosinya tiap mereka berhadapan seperti ini. "Lo temenan baik sama mantan, terus saat lo udah punya pasangan, lo kecewain dia dengan alasan menemui teman baik."

Albert tahu itu sebuah sindiran. Ia memejamkan mata merasakan hatinya berdenyut nyeri. Tidak sekalipun ia pernah menghadapi Salsa yang seperti ini. Salsa yang ia kenal jika sedang marah pasti menggebu dan mengeluarkan kalimat kasar. Bukan tenang tapi penuh sindiran.

Terjebak Ex ZoneWhere stories live. Discover now