12. Rencana Apa?

7.2K 1.1K 312
                                    

Soreeee ....
Belum sempat edit, kalau ada typo boleh ingatkan yaa.
Selamat membaca 🥳

🤼🤼

"Wah, si Bos keren. Dulu amatir sekarang mahir."

"Saya belum selesai cerita, Joko."

Joko meringis, melirik bosnya lewat kaca tengah. "Maaf, Mas Albert. Terus gimana setelah semalem jadi pahlawan?"

Albert kembali menyandarkan diri. Meski bagaimanapun posisi duduknya, ia tidak akan tenang. Ketenangannya hilang sejak melihat Hans di depan Bee Florist, menggedor pintu dengan sangat kasar tengah malam.

Padahal Albert sengaja datang untuk mengecek stok makanan—itu hanya alasan kedua, alasan pertama tentu saja memastikan Salsa dan para karyawan baik-baik saja saat lembur—tapi justru kehadiran Hans membuatnya hampir lepas kendali.

Kalau saja Hans tidak pergi setelah Albert bilang jangan ganggu calon istri saya, mungkin sudah banyak pukulan ia beri ke wajah lelaki itu. Meski ia akui—ini fakta sialan—Hans memang terlihat lelaki yang supel, tipe-tipe gampang membuat perempuan menyerahkan hati sukarela sejak mendengar gombalan pertama.

Tapi Albert juga harus bersyukur atas terkuaknya sifat Hans. Salsa tidak akan suka lelaki kasar. Ia sangat tahu itu. Jadi kecil kemungkinan Salsa mau kembali. Walaupun dengannya, ia juga meragukan itu.

"Saya kelewat khawatir, jadi kedengerannya kayak atur hidup dia," kata Albert. "Iya juga sih, Jok. Saya terlalu terburu-buru. Salsa masih sakit hati liat saya tapi saya malah nggak tau malu datang terus. Jadi dia bilang nggak mau ketemu saya lagi."

"Sabar ya, Bos. Makhluk lemah kadang memang sering ditindas."

"Apa maksud kamu?" geram Albert. Bisa-bisanya Joko bilang ia lemah.

"Maksud saya, lemah perasaannya. Gitu. Bukannya tiap liat Salsa, Mas Albert lemah buat nolak apa aja yang dimau Salsa? Kelihatan sayangnya sebesar apa."

Gimana mungkin Albert tidak menyayangi Salsa sebegitunya, kalau dulu saja sudah ia sakiti berkali-kali? Jadi membahagiakan Salsa adalah keharusan. Ia harus memastikan Salsa tidak akan merasa salah memilih, kalau pada akhirnya ia yang terpilih.

"Kalo Salsa nolak saya sampe akhir," gumam Albert lagi. Tatapannya menerawang. "Masa saya nikah sama orang lain sih, Jok. Kasian juga nanti yang jadi istri saya kalo beneran gitu, soalnya mungkin aja saya nggak bisa cinta sama dia sebesar ke Salsa."

"Nggak usah dipikir itu dulu, Bos. Pusing nanti."

"Iya, pusing." Albert mengusap tengkuknya dengan pelan. Ngantuk juga soalnya semalam sampai siang ini tidak tidur sama sekali.

"Copot aja itu kepala kalo pusing."

"Saya kasih ke kamu biar kamu tau pusingnya saya gimana 9 tahun ini," decak Albert.

"Saya nggak nerima donor otak berisi kenangan Mas Albert yang manis pahit itu, apalagi donor hati, sakit pasti. Tapi kalo bagian wajah dan mata nggak apa-apa, saya terima. Nanti warna mata saya jadi rainbow. Wajah jadi putih bersih bercambang seksi menggairahkan penuh pesona indahnya alam semesta—"

"Jok." Albert tahu ucapan Joko akan melantur kalau tidak direm.

"Oh iya, keluar jalur percakapan." Joko tertawa pelan. "Tapi emang beneran ikhlas saya kalau menerima sedekah mukanya Mas Albert. Walaupun nanti jadi belang antara leher saya yang hitam kayak oli karatan ini, sama muka Bos yang bersih bening seperti tanpa kaca."

"Dikira muka saya transparan?"

Joko tertawa.

"Ketawa terus kerjaanmu, Jok." Albert geleng-geleng kepala. "Pacar kamu pasti udah kenyang sama ketawamu. Bentar lagi valentine, kamu kasih gift ketawa doang?"

Terjebak Ex ZoneWhere stories live. Discover now