16. Tamu

5.9K 1.1K 259
                                    

Aslinya panjang sampe 15 halaman. Tapi karena kepanjangan jadi dibagi dua. Ini segini dulu. Kalo komen udah tembus rame langsung update yaaa.

Selamat membaca 🥰

🤼‍♂️🤼‍♂️

"Sumpah, ini laki parah banget."

Salsa mendapati Mira bengong menatapnya, selepas beberapa menit yang lalu mengamati rekaman cctv. Ia meraih tisu di meja untuk mengeringkan telapak tangan, setelah membersihkan diri dari darah-darah luka Albert.

"Pantesan gue nemuin tongkat pagi-pagi," gumam Mira lagi.

Salsa meraih kursi di samping Mira. Ia mengernyit. "Lo nemuin? Kok gue enggak?"

Mira berdecak. "Lo kan abis lembur pulang jam berapa itu? Jam 4 pagi? Gue nggak ikut lembur dan masuk jam 7 pagi. Gue tau lo pasti keluar paling akhir. Ya mungkin tongkatnya udah kena tendang karyawan yang mau lewat lah. Gue juga nemuinnya nggak di tempat yang sama kayak di cctv ini."

Salsa terdiam. Benar juga. Selain itu, ia terlalu kaget saat pertama kali tahu apa yang Albert lakukan setelah dapat laporan motor Hani yang katanya hilang. Jadi ia tidak memikirkan hal lain. Pikirannya tertuju ke rasa bersalahnya waktu itu.

"Dan waktu keadaan dia kayak gitu masih sempet lap-in darah di lantai, Salsa. Lo nggak liat segila apa laki-laki yang katanya lo benci ini? Dia tau lo ngeri sama darah kan pasti?"

"Gue nggak ngeri sama—"

"Dalam jumlah banyak, lo ngeri," tandas Mira.

Salsa tidak bisa membantah kalau ini. Tadi saja tangannya yang sempat terkena sedikit darah dari lengan Albert, ia tidak berhenti bergidik membayangkan seberapa parah luka yang lelaki itu dera. Sampai-sampai bisa merembes kaus dan mengalir sampai lengannya.

"Lo nggak jenguk dia, Sal?" tanya Mira pelan-pelan, sangat mengerti keterdiaman Salsa yang tiba-tiba.

Salsa menggeleng. "Itu pasti bikin dia mikir kalo gue kasih lampu hijau."

"Sebagai bentuk rasa terima kasih, mungkin?"

"Mir, gue udah makasih ke dia. Tadi gue ajak dia ke sini juga karena gue berterima kasih ke dia. Kami sepakat kalo dia nggak akan jadiin ini alasan atau ancaman buat apa pun."

Mira menghela napas pelan. Ia mengembalikan ponsel ke Salsa dan menatap temannya itu dengan iba. "Lo pasti pernah disakitin parah banget ya sampai effort dia yang sebegitunya, tetep nggak bisa bikin lo luluh. Sorry kalo gue sok tau, tapi dia keliatan sayang banget sama lo."

"Dari dulu juga gue pikir gitu. Sebelum dia ninggalin gue buat cewek lain."

"Menurut lo ... apa yang harus dia lakuin waktu itu kalo dia diancam?"

Salsa menaikkan satu alisnya, menatap heran pada Mira, lalu tertawa pelan. "Gue kalo jadi Albert, bakal cerita ke pacarnya kalo dia diancam sama mantan dan dipaksa dateng, blablabla, terus pikirin langkah ke depannya bareng-bareng. Nggak ninggalin pacarnya gitu aja tanpa penjelasan."

Mira mengangguk-angguk. "Terus kalo pacarnya udah tau, langkah selanjutnya apa?"

"Cerita ke orang tua Albert lah," jawab Salsa dengan yakin. "Lo yang nggak kalah sultannya kayak Albert pasti paham gimana cara hentiin ancaman yang nggak berdasar kayak gitu."

"Gue bukan anak sultan," gerutu Mira, mendadak badmood.

Salsa mendengus. Mira ini memang anak orang kaya, pengusaha yang kayanya sudah turun temurun dari zaman buyut Mira juga. Meski lulusan hukum tahun lalu tapi Mira justru bekerja jadi florist di tempatnya dengan alasan cinta bunga.

Terjebak Ex ZoneWhere stories live. Discover now