Serpih ke 29 : HANGAT

3.2K 197 16
                                    

HANGAT

.

.

Tuhan tidak pernah salah menetapkan seluruh takdirnya pada manusia

.

.

Ingatan masa kecil Narel hanya berhenti di usianya yang ke enam. Ketika semuanya masih begitu sempurna. Ketika Mama menjadi objek pertamanya kala membuka mata. Ketika Papa menggendongnya tinggi dengan begitu bangga. Ketika Hara, kakaknya mengajaknya bermain bola di halaman rumah dengan penuh suka cita.

Semuanya terlihat tanpa cacat. Keluarga Nagarjuna yang di elukan banyak orang tentang betapa harmonisnya keluarga itu terasa. Tentang waktu-waktu yang dihabiskan dengan hangat atas kebersamaan yang tiada sirna. Melayangkan mimpi-mimpi kecil yang tergantung tinggi kala obrolan ringan mengudara di sore yang hangat.

Narel tidak tahu apakah ia terlalu serakah untuk semua itu, hingga ketika malam bahagia pada peringatan ulang tahun mama, Tuhan mengambil semuanya, tanpa sisa. Secepat membalikkan telapak tangan, semuanya hilang begitu saja. Mama, Papa, juga Hara, semuanya.

Pada tahun-tahun hidupnya yang sendirian, ia hanya mengerti bahwa hidupnya hanyalah sebatas penebus dosa. Menerima kebencian papa dan kakaknya rasanya pantas ia dapatkan semata-mata karenanya yang mengantar mama pada kepergian abadi. Ia masih terlalu kecil kala itu dan ketika tahun-tahun berlalu, kepalanya tidak mampu menerjemahkan hal apapun lagi.

Ingatan tentang mama perlahan mulai mengabur di matanya. Wajah, suara, dan hangatnya wanita itu sudah terlalu lama tak menyambangi hari-harinya. Pada malam dimana serangan yang paling ia hindari datang, bayang-bayang mama hanyalah abu-abu yang kabur, hanya sebatas penciptaan semu yang tak ia ketahui kebenarannya.

Namun kini, di danau yang terakhir kali ia ingat adalah danau yang pernah keluarga mereka kunjungi bersama, mama dengan perwujudan paling indah mengenakan gaun putih berdiri di tepian. Surai hitam panjangnya bergoyang ditiup angin, cantik sekali.

"Mama?"

Ragu suaranya menguar, mengalihkan perhatian mama hingga berbalik menghadapnya. Narel terkesiap, menyadari mama berkali lipat lebih cantik dari semua memori yang tersisa dalam benaknya. Seolah cahaya berada di sekeliling wanita itu, membuatnya tak henti menatap pada rindu yang sama.

"Hai, sayangnya Mama,"

Maka setelahnya Narel memilih berlari demi mendekap erat tubuh wanita itu. Mengusak mencari hangat yang selama ini selalu ia rindukan. Bertahun-tahun melalui hidupnya yang kejam sendirian, membuat dekap mama adalah satu-satunya yang ia butuhkan. Tanpa sadar tangisnya pecah kemudian, mengadu tentang seberapa besar ia kesulitan, seberapa besar ia kepayahan. Sedang mama memilih mengusap surai putra bungsunya yang ternyata sudah tumbuh sebesar ini.

Setelah lebih tenang, Narel memilih diam di posisinya, menyamankan hangat yang selama ini selalu ia butuhkan. Ia tak mampu mengatakan apapun, seolah semua kalimat rindu yang ia susun diam-diam sirna begitu saja dalam kepalanya. Mama pergi terlalu jauh, dan Narel tak punya sedikitpun asa untuk meraihnya dalam genggam yang sungguh.

Namun di antara rindu yang ia coba sampaikan, hangat yang mendekapnya perlahan hilang, digantikan siur dingin yang membuatnya bergidik tak nyaman. Bersamaan dengan itu, tubuh mama perlahan memudar. Keberadaannya tak lagi mampu ia rasakan. Mendapati itu, lisannya terasa begitu kelu, segala permohonan yang coba ia utarakan tak terdengar bahkan hanya sebatas bisik tak sampai.

Lalu di antara segala pilu, telinganya menangkap sedu yang menyakitkan. Itu suara papa juga kakaknya yang terdengar begitu jauh namun rasanya begitu dekat. Seolah suara itu memainkan perasaannya tanpa tahu malu, membuatnya kebingungan tentang apa yang sebenarnya baru saja ia rasakan.

You're Doing WellWhere stories live. Discover now