Serpih ke 20 : MENGINGAT

2.3K 238 12
                                    

MENGINGAT

.
.
.

Pagi ini terlihat lebih buruk bagi Hara. Setelah mendung yang akhirnya membawa hujan turun, kini ia hanya bisa terkurung dalam kamarnya yang sepi seorang diri. Sudah berlalu sejak kejadian Narel yang meninggalkannya begitu saja dan kini ia terus membiarkan pikirannya terus mengulang kesalahannya di masa lalu.

Hela napas terdengar setelahnya. Hara tidak mengerti mengapa semua pikiran-pikiran aneh itu seakan menyerangnya balik. Seolah menghukumnya secara perlahan. Tubuhnya ia lempar pada permukaan ranjang. Menyugar rambut sekilas bersama dengan kilas-kilas yang perlahan tergambar dalam benaknya.

“Narel Nagarjuna,”

Bisik Hara pelan beserta samar wajah yang tergambar dalam bayangan. Narel memilikinya. Nama Nagarjuna yang paten ia miliki di belakang namanya. Itu nama belakang ayahnya, pun Hara memilikinya. Sebuah tanda yang sudah begitu jelas bahwa mereka seharusnya sama. Ia dan Narel telah terikat dengan nama itu juga dengan darah Wayan dan Dhita dalam tubuh mereka. Namun bahkan dengan bukti yang nampak begitu kuat, Hara masih menjadi bajingan jahat yang meninggalkan Narel di belakang tubuhnya.

Di dalam ruangan yang menggelap bersama mendung di luar sana, pikiran Hara membawa memori lalu yang ia tutup rapat-rapat. Tentang hari yang begitu ingin ia lupakan. Tentang hari yang membawa mimpi buruk sepanjang hidupnya. Tentang bagaimana waktu merenggut tiap suka yang ia harap akan menjadi selamanya.


.
.
.

Hari itu, hari ulang tahun pernikahan Papa dan Mama yang seharusnya menjadi hari yang begitu membahagiakan, menjadi mimpi buruk yang tak ingin Hara ingat lagi sampai kapanpun. Ia masih ingat ada begitu banyak pelayan yang terlihat begitu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Membawa berbagai hidangan, merapikan ini-itu dan Mama menjadi seseorang yang paling sibuk dengan kue cantik yang dibuat dengan keterampilannya sendiri. Bahkan Mamanya terlihat menjadi yang paling bersinar dari sudut manapun.

Dari sudut lantai dua Hara kecil menjadi pangeran yang begitu tampan. Menyaksikan semua kesibukan dengan lekuk senyum yang menenangkan. Bersama riuh suara yang bersahutan berusaha membuat persiapan malam ini menjadi begitu sempurna.

Namun pada dentang yang bertalu saling meninggalkan, riuh kesibukan itu berubah menjadi bising yang begitu memekakkan. Tentang lesatan peluru yang tak terlihat, berhasil menembus pusat kehidupan Dhita hingga memutus tiap hela napas yang terhela begitu berat.

Hara masih terpaku di tempatnya ketika melihat Mama tersungkur sembari memeluk tubuh Narel dalam dekap. Ia mampu melihat dengan jelas jejak darah yang mengotori gaun sederhana yang Mama kenakan. Napas Hara tercekat kuat sekali, seolah seseorang mencekiknya tanpa ampun.

Dalam kesadaran yang masih tak menemukan fokus, Hara berlari sekuat yang ia bisa. Menghampiri tubuh Mama yang melemas membentur dingin lantai di sana. Dengan segala kekuatan yang ia miliki, Hara menghempas tubuh kecil Narel hingga membuatnya jatuh terduduk. Menepuk pipi Dhita yang semakin mendingin, berharap semoga tak ada yang pergi malam ini.

“Mama!”

Jerit tangis itu terdengar kemudian. Mengundang pekik lantang para manusia lain yang berusaha mencari pertolongan. Jemari kecil Hara bergetar kuat mencoba mengguncang tubuh Mama yang semakin mendingin dalam dekapnya. Demi Tuhan, Hara bahkan masih terlalu kecil untuk menyaksikan semua tepat di depan matanya. Namun sepertinya semesta sedang tak ingin tahu tentang perasaan makhluk kecil yang baru saja kehilangan separuh hidupnya itu.

Sedu sedan memekakkan itu menjadi pembuka dari setiap luka yang diterima semua orang. Tentang perihnya ditinggalkan juga tentang rasa sakit ketika semua orang pergi meninggalkan. Rumah Nagarjuna yang kehilangan hangat. Bersama jiwa-jiwa di dalamnya yang kehilangan kehidupan.

You're Doing WellWhere stories live. Discover now