Serpih ke 27 : RISAK

2.4K 234 19
                                    


RISAK

when i was drowning, that's when i could finally breathe

.

.

.

Detak jarum jam yang berbunyi konstan dalam ruangan hening itu hanya mampu membawa sesak berkepanjangan bagi Hara yang masih terpekur diam membawa tangan dingin Narel dalam genggam. Mengirimkan rapalan doa tak terbatas bersama harapan tipis yang memintanya untuk segera membuka mata. Sudah terhitung satu hari penuh anak itu masih setia dalam pejamnya tanpa gerak. Memupuk khawatir yang tak juga lega sejak pertama kali Narel harus terbaring di sana.

Hara mengingat kalimat Dokter Benua yang mengatakan bahwa ia bahkan tak bisa memastikan kapan Narel akan bangun dari tidurnya. Karena sebenarnya, tidur yang dialami Narel hanyalah salah satu bentuk pelarian dirinya dari rasa sakit, dan jika Narel belum juga bangun, maka Narel mungkin benar-benar kelelahan. Menyadari fakta itu, Hara tidak bisa untuk tidak lagi menyalahkan dirinya sendiri.

"Rel, bangun, ya. Kakak nggak pergi kemana-mana lagi sekarang,"

Lirihnya terurai bersama ribuan rapalan doa juga mengirimkan banyak pesan untuk mama yang mungkin tengah menemui Narel dalam pejamnya yang damai. Hara tak mampu memungkiri bahwa ia tahu seberapa lelah Narel untuk bertahan selama ini, namun ia juga ingin egois dengan tak ingin membiarkan Narel pergi dan meninggalkannya bersama penyesalan yang tak berujung ini. Hara ingin Narel kembali, setidaknya agar ia mampu membalas dosa-dosanya di masa lalu.

Bersama hening yang mencekam siang itu, tanpa aba-aba Hara merasakan jemari dalam genggamnya bergerak pelan. Maka seketika itu pula Hara mendongak demi mendapati kerjap halus pada kelopaknya yang bergetar pelan. Dengan perasaan leganya yang membuncah, Hara berusaha dengan sabar menunggu kelopak tersebut terbuka sempurna, menampilkan manik sayu yang hampir terlihat serupa dengan miliknya.

"Narel,"

Gumam pelan itu mengundang manik yang masih dalam kerjapan pelan itu untuk menoleh kepada presensi manusia lain di sisinya. Hara bersama binar maniknya yang hampir pecah itu tidak bisa untuk tidak menarik senyum leganya dan mengucap beribu rasa syukur bahwa kini Narel telah kembali bersamanya. Menggenggam balik jemarinya meski terasa begitu lemah bersama senyum tipis yang benar mampu mengoyak warasnya kini. Bersama sisa bahagianya, Hara dengan gemetar mencoba meraih tombol di atas brankar. Karena biar bagaimanapun Narel masih membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut setelah sadarnya.

Setelah pemeriksaan selesai, Hara menghampiri Narel dengan langkah tertatih. Perasaan membuncah dalam dadanya serasa ingin meledak. Leganya begitu kuat hingga menghantarkan panas pada matanya dan berakhir pada anak sungai asin di pipinya yang lembab. Sedang Narel terpekur diam di atas brankar bersama senyum tipisnya yang tak serta merta hilang. Tulusnya begitu terasa menyentuh dada Hara hingga membuatnya kesulitan.

"Kakak,"

Bersamaan dengan kata yang terlontar, Hara mengambil langkah paling cepat yang ia miliki untuk kemudian menarik Narel dalam dekap. Membawanya dalam hangat yang selama ini Narel idamkan dalam bertahun-tahun pengabaian. Hara mengusap surai lembut adiknya bersama kecup hangat di puncaknya, mencoba mengatakan bahwa ia ada di sini dan tak akan pernah meninggalkannya lagi. Sedang Narel dalam dekap hanya mampu memejam bersama balas lengannya yang tak seberapa hangat. Diam-diam menangis bersama banyak rasa terima kasih bahwa mungkin setidaknya ia tak lagi tertatih seorang diri. Perasaanya terasa begitu penuh namun tak cukup untuk membuatnya kesulitan bernapas.

Hari itu cukup berakhir baik, bahwa lembar baru benar-benar dibuka dan Narel akan meyakini satu hal. Tentang kakaknya yang kini akan membantunya berjalan bersama dan tak akan lagi meninggalkannya seorang diri di belakang. Pada langit yang hampir menggelap, Narel merapalkan harap terakhirnya. Tentang Papa dan harap untuk balasan penerimaan maaf yang masih tergantung dalam angan tak sampai.

You're Doing WellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang