Serpih ke 19 : BERUBAH

2.6K 257 26
                                    



BERUBAH

.

.

.

Langit telah berubah menggelap begitu kaki Narel sampai pada pekarangan rumah besarnya. Arah pandangnya berhenti ada garasi yang terlihat lengang tanpa adanya mobil Papa di sana. Sudah lama sekali sejak Papa pulang. Seakan rumah itu bukan lagi tempat tinggalnya seperti saat Mama masih ada dulu. Entah dimana keberadaan Papa, Narel mencoba untuk tetap diam. Narel rindu Papa, terlepas dari bagaimana sikap pria paruh baya itu padanya.

Hela napasnya terdengar sejenak sebelum ia memilih melangkahkan kaki ke dalam. Sejenak pikirannya kembali pada saat lalu di mana untuk pertama kalinya hatinya kembali terasa begitu ringan. Senyumnya terkembang lagi tanpa sadar bahkan hingga kakinya terus berjalan semakin dalam ke dalam rumah.

Di sisian dapur yang tak mampu tertangkap mata, Hara melihat eksistensi Narel ketika tubuh anak itu muncul dari balik pintu hingga berakhir menghilang di belokan tangga menuju kamarnya. Hara melihat bagaimana lebar senyum yang terpatri di wajah yang selama ini tak ia lihat lagi detailnya. Ia tak tahu apa yang sebelumnya Narel lakukan hingga ia terlihat begitu bahagia sekarang. Namun jauh di dalam sana, ada lega yang tak coba ia elak keberadaannya. Rasanya sudah begitu lama ia melihat senyum yang diam-diam ia rindukan.

Laki-laki yang lebih tua dari Narel itu memilih melangkah menuju kamarnya sendiri. Merebahkan diri untuk kembali memikirkan akan banyak hal yang selama ini hilang dari dalam kepalanya. Lagi-lagi perasaan asing itu datang. Tentang bagaimana wajah dengan ekspresi pilu milik Narel kembali terngiang dalam kepalanya. Juga tentang pikiran-pikiran acak tentang Narel yang mampu mengacaukan harinya akhir-akhir ini.

Hara bangkit untuk kemudian meraih laci paling bawah di nakasnya. Terhenyak pelan ketika menemukan pigura usang bersama potret beku di dalamnya. Di sana, ia melihat Papa, Mama, dan dua malaikat kecil mereka yang kini sudah beranjak dewasa. Wajah kecil yang terlihat mirip juga tangan mereka yang saling menggenggam begitu erat. Hatinya tanpa sadar teremas sakit.

Menatap wajah Mama cukup lama. Menelan begitu besar rindu yang ia simpan, tanpa mampu ia dekap lagi. Hingga maniknya beralih pada wajahnya dan Narel bergantian. Diam-diam mengiyakan bahwa wajah mereka memang terlihat begitu mirip. Jemarinya tak kuasa terus diam hingga berakhir mengusap potret milik Narel yang terlihat begitu ringan di sana.

Sudah berapa lama waktu yang ia buang untuk membenci wajah itu. Terlepas dari apa yang membuat Mama pergi dari dekapnya, Hara sadar bahwa ia tak seharusnya membenci. Potret kecil Narel di sana seakan memberi tahunya bahwa Hara telah berjalan begitu jauh meninggalkannya. Membuatnya berjalan seorang diri dengan kebencian yang juga Papa berikan untuknya.

Napasnya menyesak sakit. Mendongak demi menemukan langit yang terbias gelap dari jendela kamarnya. Diam-diam menggali kalimat yang dulu pernah ia rekam dengan baik.

"Narel suka langit. Langit tau apa yang Narel rasain,"

.

.

.

"Iya, berisik. Gue keluar bentar lagi,"

Dengan langkah cepat Narel berusaha membenahi jaketnya yang masih berantakan. Tak peduli bahkan jika rambutnya belum tertata sempurna. Langkahnya menyusuri tangga dengan terburu-buru, tanpa mengkhawatirkan ia akan jatuh atau tidak. Narel tidak peduli apapun, asal bisa menghentikan berisik dua makhluk yang terus memintanya cepat datang.

"Hati-hati, nanti jatuh,"

Suara yang terdengar tidak asing itu seketika menghentikan langkahnya. Terpaku hingga tanpa sadar menurunkan ponselnya dan mengundang pekik yang lebih berisik dari seberang sana. Narel tak peduli. Otaknya masih berusaha berpikir apakah itu menjadi salah satu dari ilusinya ataukah sebuah kenyataan.

"Mau kemana?"

Suaranya terdengar lagi. Kali ini ia mendengarnya dengan baik. Tubuhnya yang terpaku perlahan berbalik. Menemukan sosok Hara yang berdiri menghadapnya. Maniknya kali ini terlihat begitu teduh, tanpa ada gurat benci yang sebelumnya selalu terlihat matanya. Agaknya Narel merasakan hatinya berdesir aneh, kendati jauh di dalam sana ada hangat yang perlahan merayap sampai ke matanya.

Hara maju satu langkah, mendekat pada tubuh adiknya yang masih terpaku diam. Dalam hatinya ia mengucap begitu banyak maaf. Narel hanya diam di hadapan, tanpa bergerak. Namun matanya yang redup itu terlihat takut menatapnya. Hara tau itu kesalahannya. Narel terlihat tidak percaya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Ia sendiri pun masih belum sepenuhnya percaya bahwa ia tak akan menyakiti adiknya lagi. Namun sesuatu meremas hatinya sakit. Ia tak bisa terus membiarkan adiknya kesakitan sendirian.

"Kenapa diem? Gue tanya, loh,"

Narel tanpa sadar mengalihkan pandang. Menatap apapun selain wajah sang kakak yang kini menatapnya. Narel tak mengerti mengapa ia malah ketakutan melihat Hara yang kini mendekatinya, meski dengan nada yang selama ini dinantikannya, khawatir. Kakinya mundur selangkah, mencoba menjauh. Diam-diam hatinya berteriak untuk segera pergi dari sana, namun ia takut, akan ada hal buruk yang terjadi jika ia pergi begitu saja.

"Maaf, Kak. Abi sama Abyaz udah nunggu dari tadi,"

Pada akhirnya tubuhnya berbalik, meninggalkan Hara yang masih berdiri menatapnya pergi. Narel tak peduli jika setelah ini Hara akan marah padanya. Ia masih ingin menyelamatkan jantungnya yang berdetak tak beraturan tadi. Hara memang mengerikan, namun sikapnya tadi membuatnya lebih ketakutan.

.

.

.

Hara melihat tubuh adiknya yang melangkah terburu meninggalkannya. Sedikit nyeri menyadari jika Narel ketakutan karenanya. Ia tak tahu bagian mana yang membuat Narel begitu takut. Luka macam apa yang telah ia buat di hati Narel di masa lalu. Hara melihat bagaimana getar yang coba Narel sembunyikan dari bagaimana caranya berucap. Narel ketakutan, karenanya. Hara tak menyadari sudah berapa lama ia menjadi begitu jahat. Narel bahkan tak ingin lama dekat-dekat dengannya. Sudah menjelaskan, bukan?

Hela napasnya terdengar. Menyadari jika ini semua salahnya sejak awal. Menyakiti Narel dengan apapun yang mampu ia lakukan. Kendati itu hanya sebuah ucapan, Hara tahu jika ia telah kelewatan.

Kini ia tak ingin terus diam, melihat semuanya semakin kacau. Ia dan Narel, bahkan Papa. Seakan semuanya semakin jauh. Narel yang berusaha mencari maaf dan penerimaan darinya juga Papa. Narel sudah terlalu jauh tertinggal di belakang. Terseok sendirian dengan segala luka yang ia dan Papa ciptakan. Ia berlari terlalu jauh meninggalkan Narel yang bahkan belum mampu berjalan dengan baik. Ia sadar, ia begitu jahat.

Dengan segala nyeri yang ia terima kini, ia ingin memperbaiki segalanya. Menghentikan langkahnya demi berjalan bersama adiknya. Mendekapnya hangat dan membalut lukanya perlahan. Kembali merangkai tiap waktu yang hilang begitu saja di masa lalu. Ia ingin semuanya kembali. Menyembuhkan Narel yang terluka.

Hara bahkan tak bisa membayangkan sedalam apa luka yang ia torehkan di sana. Tentang rasa sakitnya yang bahkan tak mampu ia tangkap begitu saja. Narel bahkan mencoba mengobati lukanya sendirian, tanpa siapapun di sisinya. Ia tak tahu apakah semua luka itu telah sembuh atau bahkan semakin dalam.

Hara ingin membawa Narel-nya kembali. Senyum dan tawa yang bahkan semakin mengabur dalam ingatannya.

.

.

.













Selamat siang semuanya..
Maaf, lagi-lagi Narel terlambat datang..

Semoga kalian masih suka, yaa..

Luv 

You're Doing WellWhere stories live. Discover now