Serpih ke Tiga : PAPA

3.6K 370 19
                                    


PAPA

.

"Bukan kamu yang seharusnya ada di sini,"

.

"Dhita, saya rindu kamu. Hara sudah besar sekarang, dia sangat tampan seperti ayahnya,"

Wayan Nagarjuna bersimpuh di hadapan nisan istrinya, Jagaddhita Nagarjuna, dengan sendu. Air matanya perlahan luruh bersama ingatan yang perlahan-lahan menyapa. Dhita telah pergi begitu lama dan ia rindu dengan segenap hatinya. Wayan mengusap nisan itu lembut seakan ia mengusap wajah cantik istrinya.

Semua berubah hitam sejak sepuluh tahun yang lalu. Ketika peristiwa mengerikan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika Dhita yang melemah memilih untuk pergi meninggalkan semua hal. Saat itulah Wayan tak pernah lagi merasakan warna. Wayan tak pernah mengerti jika kehilangan terasa begitu menyakitkan.

"Kamu nggak pernah datang ke mimpi saya. Apa kamu nggak rindu saya?"

Wayan mengusap air mata di wajahnya dengan tangan bergetar. Luka lama itu datang lagi dan Wayan masih belum mampu untuk menerima semuanya. Sebelah tangannya yang lain bergerak untuk meraih satu ikat bunga mawar merah kesukaan istrinya. Meletakannya di gundukan bersih itu dan kemudian menyiramkan air di atasnya.

"Mawar merah kesukaanmu nggak pernah saya lupakan. Sudah hamper petang, saa pulang dulu, ya. Baik-baik kamu di sana,"

Pria paruh baya itu bangkit, menatap peristirahatan terakhir Dhita dan melayangkan sebuah senyuman sedih untuk beranjak dari sana. Hingga pada langkah kesekian, arah pandang Wayan belum beralih dari sana, seolah berat untuk meninggalkan istrinya sendirian di sana.

"Saya pergi," Langkah berat itu memberanikan diri untuk pergi dari sana. Tersenyum untuk yang terakhir sebelum berbalik pergi.

Tanpa ada yang pernah menyadari, Narel ada di sana. Di balik pohon, menyaksikan semua hal yang terjadi dan menyadari bahwa namanya bahkan tak pernah di sebutkan di percakapan sepihak papa dan mamanya. Narel tersenyum sedih. Kembali mengurungkan niat untuk mengunjungi mamanya. Niat hati ingin melepas rindunya terhadap sang mama, namun kenyataan bahwa Wayan tak pernah memberi tempat sedikitpun di hatinya membuat Narel tak ingin lagi berharap.

"Narel rindu Mama, tapi maaf Narel nggak bisa kunjungin Mama,"

.

.

Pintu rumah besar itu menjeblak terbuka. Menampilkan eksistensi Wayan dengan wajah lelahnya. Langkah besar Wayan perlahan memasuki rumah yang tak pernah lagi hidup itu. Menghela napas pelan ketika kenyataan ini benar mencekik napasnya. Sudah lama sekali sejak kebisingan menyambangi rumahnya. Kini yang ada hanya hening yang tak pernah lagi terasa nyaman.

Langkah beratnya ia bawa menuju lantai dua, tempat dimana kamar Hara berada. Wayan mendekat, menemukan kamar putranya kosong tak berpenghuni. Ah, ia baru ingat, Hara tak akan berada di rumah jika waktu belum menunjukkan tengah malam. Keadaan memaksa Hara untuk menjadi demikian. Haranya yang baik telah menjadi begitu liar dan ia mencoba untuk memahami itu.

Hara mungkin sama terlukanya

Langkahnya berlanjut berniat untuk kembali ke kamarnya sendiri. Namun pada langkah ke lima, matanya terpaku pada kamar seseorang yang lain. Itu Narel, putranya yang lain. Dengan rasa marah yang lama terpendam, Wayan mencoba masuk dengan tergesa. Membuka paksa pintu coklat itu dan berdecak marah ketika tak menemukan siapapun di sana.

"Dasar anak-"

"Papa,"

Mengapa tak coba ia pahami juga?

You're Doing WellWhere stories live. Discover now