Serpih ke Enam : MEREKA

2.4K 262 5
                                    


MEREKA

.

.

.

Pagi yang hangat mengetuk jendela Narel lembut. Mengantarkan kasih tak tampak pada sang penghuni yang pada kenyataannya kesulitan tidur sejak semalam. Lelaki itu menarik senyum tipis ketika menemukan setetes embun menetes dari daun di balik jendela kamarnya. Hingga pada helaan napas ke berapa, Narel memilih untuk membangkitkan tubuh, menyugar surai gelapnya dan diam-diam berucap penyesalan dalam hati.

Mengapa aku masih di sini?

Kendati ia paham betul suara itu bukan darinya, namun sayang dalam hatinya ia menyadari bahwa itu terdengar seperti miliknya. Dengan langkah gontai, Narel membawa tubuhnya menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri dengan air dingin mungkin mampu mengawali harinya dengan hati yang beku. Sudah lama Narel bahkan tak pernah lagi mampu merasakan hatinya.

Menghabiskan menit-menit yang berlalu terbuang, Narel menatap bayangan tubuhnya pada cermin. Diam-diam menyadari bahwa tubuhnya kini menjadi jauh lebih kurus juga dengan pada tiap luka yang terhias di permukaan kulitnya. Luka yang nyata, entah itu yang ia buat sendiri atau yang di torehkan orang lain padanya. Namun Narel tak pernah menyesali hal itu, toh ia ingin, sakitnya butuh wujud dan semua bentuk bekas itu setidaknya mampu sedikit menenangkan hatinya.

Helaan napas terakhir, Narel beranjak dari sana. Melangkah malas demi bersiap kembali bertemu pada kehidupannya yang keras. Ketika kakinya menapak pada lantai di mana sang Papa dan Hara tengah sarapan bersama, Narel mencoba untuk tak peduli. Kendati dalam benaknya ia meraung keras, memohon pertolongan atas perhatian yang sama. Namun aliran darahnya bahkan tau bahwa semua pintanya tak akan menjadi kenyataan.

Langah yang berbayang membawa Narel pada halte bus yang sepi. Ketika busnya datang, Narel seolah hanya berjalan di atas angin. Pagi hari tak pernah menyenangkan baginya. Penyesalan yang muncul ketika ia membuka mata. Kilas buruk yang terputar acak di kepala. Benar-benar mampu merusak hari-harinya sejak kelam di masa lalu.

Semua usahanya kini untuk menjadi yang pertama seakan tak pernah mampu ditangkap siapapun. Papa dan Hara tak pernah menangkap eksistensinya dan Narel sudah tak ingin berusaha mencari lagi. Ia ingin menyerah sejak lama, sejak semua pengabaian yang ia terima. Namun ada secercah harap semu yang ia miliki, tentang ia yang akan lagi dilihat. Ia ingin membangun semua harap itu dan jika memang bukan untuknya, Narel mungkin akan menyerah dan menyusul sang Mama mungkin menjadi pilihan yang terbaik.

Tenggelam dalam lamunan membuatnya tak menyadari langkah yang telah membawanya menuju gerbang sekolah. Menerima rangkulan hangat dari dua orang yang mampu membuatnya tetap sadar di mana ia berpijak. Mereka Abyaz dan Abisatya. Dua sejoli yang memaksanya untuk menjalin pertemanan di hari pertamanya menginjak SMA ini. Narel tak pernah tahu jika Tuhan ternyata masih baik untuk memberinya kesempatan untuk setidaknya merasa benar.

Kendati berisik yang mereka bawa mampu membuat telinga Narel pengang, namun mereka juga yang tak membuatnya hilang arah. Narel menarik senyum tipis sembari diam-diam mengucap banyak terimakasih pada langit yang memeberinya sedikit harapan.

Terimakasih banyak...

.

.

"Gila lo, Rel. Woy, ini masih pagi banget dan lo bilang lo udah sarapan? Heh, kambing tetangngga gue aja belum di kasi minum masa lo udah makan, sih?" geger Abyaz sembari menyantap semangkuk soto ayam di hadapannya. Tatapan tajamnya tak pernah beralih dari Narel yang dengan tidak berdosanya malah menatap hamparan langit bersama airpods yang menyumpal telinganya.

You're Doing WellDonde viven las historias. Descúbrelo ahora