Serpih ke 24 : JANJI

2.7K 243 18
                                    

JANJI

.

.

.

Hening yang panjang pada malam yang begitu dingin membuat Hara enggan beranjak dari tempatnya bersimpuh. Memilih menggenggam tangan dingin adiknya erat bersama usapan ringan seolah mengantarkan kekuatan kepada Narel yang melemah. Setelah kejadian beberapa jam lalu, membuat Hara dibelenggu penyelasan hingga membuatnya sulit bernapas. Mengutuk dirinya sendiri tentang tindakan bodoh yang ia lakukan bertahun-tahun hingga adiknya kesakitan seorang diri.

"Maaf, Rel. Maafin kakak,"

Hara tau ia telah terlambat begitu lama. Namun kini tak ada yang bisa ia lakukan selain memohon ampun atas kebodohannya berharap Narel mau menerima dekapnya lagi. Air mata yang telah mengering kini kembali beranak, datang bersama sedu sedan yang Hara coba tahan mati-matian. Benaknya kini membayangkan, kesulitan dan kesakitan macam apa yang Narel pendam seorang diri tanpa bantuan siapapun disisinya.

Hingga pada detik yang berlalu konstan, Hara hanyut dalam hening hingga membuatnya kelelahan. Kelereng gelap itu pada akhirnya memilih memejam, datang menuju tidur berharap mampu mendekap Narel dalam mimpinya. Masih dalam posisi yang sama, Hara berakhir tertidur bersama genggam tangan yang mengerat, mencegah Narel untuk tak pergi kemanapun tanpanya.

.

.

.

Cicit burung gereja terdengar berisik hingga mengganggu pejam lelaki yang masih terpekur dalam mimpi baiknya. Manik terang itu mengerjap pelan, menatap kosong pada langit-langit mencoba mengulang ingatan tentang apa yang terjadi hingga ia berakhir di sini. Tangan kurusnya terangkat ketika ia merasakan sesuatu yang dingin menempel di dahinya. Ah, apakah ia demam sekarang? Hela napasnya terdengar pelan ketika menyadari ada yang tak nyaman tentang tubuhnya.

Maniknya kembali terpejam, ingatan malam tadi terlintas di benaknya bersama prasangka buruk jika semua akan berakhir sama saja. Tadi malam ia berakhir dalam dekap Hara namun ketika ia hanya menemukan kekosongan di kamarnya sama seperti malam-malam menyakitkan sebelumnya membuat Narel enggan lagi berharap. Seharusnya ia mampu menahan rasa sakitnya dan bangun lebih pagi. Melarikan diri ke sekolah menjadi pilihan yang lebih baik dari pada harus berakhir dalam dingin kamarnya seorang diri.

Narel membenci kenyataan jika ia kembali berharap lebih.

Menit-menit yang berlalu dalam sesal, Narel tersentak pelan ketika pintu kamarnya terbuka pelan. Mengernyit dalam saat menemukan Hara datang bersama raut terkejut dengan tangan yang membawa nampan berisi makanan yang masih mengepul panas. Dalam detik itu, keduanya terkunci dalam satu pandang yang sama. Narel yang mencoba menyadarkan diri jika itu bukan hanya delusinya dan Hara yang mencoba meyakinkan diri untuk tak lagi membiarkan Narel sendirian.

"Syukurlah, lo udah bangun,"

Narel masih setia dalam hening mencoba meyakinkan diri jika Hara benar-benar ada di hadapannya tanpa ada raut marah. Sorotnya mengikuti setiap pergerakan kakaknya mencoba menyadari jika ia tidak sedang berhalusinasi. Hara menyadari jika Narel terus memperhatikannya sejak langkah pertama ia memasuki kamar adiknya itu. Memahami jika Narel mungkin belum bisa mempercayai sepenuhnya jika ia benar-benar ada di sini, menemaninya.

Hara mendudukkan diri di sisian ranjang Narel, meletakkan nampan berisi makanan itu dan beralih menatap pada kelereng yang mirip dengannya. Tangannya terulur kemudian, mengusap lembut dahinya yang berkeringat sembari mengecek suhu tubuh anak itu. Pagi tadi, Hara dikejutkan dengan rintih samar yang terdengar dan menyadari jika suhu tubuh Narel begitu tinggi hingga membuatnya panik setengah mati. Namun kini suhu tubuhnya sudah sedikit lebih baik meskipun hangat masih terasa di tangannya.

You're Doing WellWhere stories live. Discover now