Serpih ke Sembilan : SULIT

2.2K 269 5
                                    

SULIT

.

.

.

Hidup semakin terasa berat bagi Narel. Terlihat dari bagaimana ia berusaha untuk terus berjalan di atas kakinya sendiri. Kendati terjatuh berkali-kali, Narel masih belum ingin menyerah.

Ringisan pelan terdengar dari belah bibirnya yang terbuka. Ia tak pernah tahu bahwa bangun tidur akan terasa seberat ini. Pandangannya mengedar demi kembali dijatuhkan keadaan bahwa ia memang terbuang dari kamarnya sendiri.

Pukul 04.30

Ah, ia bangun terlalu pagi hari ini. Tapi kantuknya benar-benar sirna sejak awal. Jadi ia memutuskan untuk beranjak keluar dan menikmati hening yang mendekapnya sejak lama. Langkah tertatihnya ia bawa menuju halaman belakang. Tempat terbaik yang bersedia menerima kehadirannya tanpa tapi. Satu-satunya tempat yang tak pernah menyaksikannya terluka karena semua orang di sana.

Hela napas pelan terdengar mendominasi. Di tengah dingin yang berkuasa, Narel terduduk di sana menatap kolam renang yang beriak tenang bersama langit yang bahkan masih tak bercahaya. Manik nya terpejam bersama tarik napas yang terasa segar. Satu hal yang masih ia syukuri bahwa ia masih hidup hingga saat ini.

Pikiran Narel melayang pada hal-hal yang terjadi. Ini sudah hari ke sekian sejak kakeknya datang dan apa yang ia dapat bukan hangat yang ia harap. Namun, dalam sudut hati yang tersembunyi, Narel bersyukur masih bisa menemukan eksistensi sang Kakek yang mau melihat padanya meski hanya benci pada akhirnya.

Waktu berlalu begitu cepat sejak pertama kali semua perlakuan buruk itu ia terima. Dan kewarasannya memintanya untuk tetap diam menerima, karena biar bagaimanapun hal buruk yang menimpa Mama tidak lain adalah karenanya. Napasnya mulai tersengal ketika memori buruk itu datang lagi. Namun Narel mencoba untuk tetap sadar dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan tetap baik-baik saja.

Hingga pada detik yang berlalu tanpa permisi, pekik keras itu menyadarkan lamunannya. Itu suara Bara. Berteriak memintanya datang ke dapur entah untuk apa. Satu lagi doa yang ia rapalkan bersama langkah kakinya yang beranjak.

Semoga hari ini ia baik-baik saja.

.

.

.

Sepertinya Narel berteman baik dengan hal-hal buruk. Karena ketika langkah yang membawa dirinya ke hadapan Bara, Narel harus menahan rasa sakitnya ketika Bara memberinya begitu banyak kesulitan.

Bara memintanya membuat sarapan sesuai dengan apa yang pria tua itu inginkan. Sepertinya Bara memang sebenci itu, karena setelah Narel menyelesaikan semua titahnya, Narel baru menyadari bahwa Bara memang berniat membuatnya terlambat ke sekolah.

Hening mencekam menemani Narel yang harus berakhir di ruang kedisiplinan. Di hadapan seorang guru kedisiplinan paling mengerikan yang pernah ada. Ini pertama kalinya Narel berakhir di sini dan ia tak tahu hadiah apa yang akan diberikan Pak Abdul kepadanya.

Hela napas berat Pak Abdul terdengar nyaring dan Narel tak ingin repot-repot melihat wajah Pak Abdul di hadapan.

"Kenapa kamu terlambat, Narel?" gema suara Pak Abdul terdengar.

"Maaf, Pak. Kakek saya baru datang, jadi saya diminta menemani sarapan beliau, Pak,"

Gelenyar ngilu ia tekan dalam-dalam. Menemani katanya, Narel bahkan diperlakukan buruk, bukannya menemani. Sedang di hadapannya, Pak Abdul menghela napas bersama tarik senyum di wajah menuanya.

"Kamu memang teladan, Nak. Baiklah. Tapi maaf peraturan tetap peraturan, jadi sekarang bantu Bu Nina mengurus perpustakaan, ya,"

Narel mendongak kaku. Mengernyit tipis ketika menyadari guru semengerikan Pak Abdul tidak melayangkan amarah pada murid yang terlambat. Hingga Narel ikut menarik senyum dan mengangguk patuh untuk kemudian beranjak dari sana.

You're Doing WellWhere stories live. Discover now