SATU

1.4K 171 14
                                    

Cerita yang kujanjikan sudah dimulai. Ini sebuah novella ya. Panjangnya setengah novel. Biasanya aku menulis novel sebanyak 75.000 kata, Unexpetedly In Love ini hanya separuhnya. Jadi nanti nggak perlu waktu lama untuk tamat. Semoga kamu menyukainya, mulai hari ini dan seterusnya, karena aku mencoba bercerita dengan sudut pandang orang pertama. Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar dan tunggu update bab selanjutnya :-)

***

Pasti seperti ini yang dirasakan oleh korban selamat dari sebuah gempa bumi berskala besar. Aku memejamkan mata dan membayangkan pengalaman yang pernah terjadi padaku lebih dari sepuluh tahu yang lalu. Saat gempa bumi terparah sepanjang sejarah mengguncang pulau ini. Selama beberapa saat, dunia bergoyang dan bergetar dengan kencang. Semua orang berlarian mencari pegangan atau perlindungan. Suara teriakan bersahut-sahutan, setiap manusia mengingatkan orang-orang yang dicintainya untuk lari secepat-cepatnya. Doa-doa diteriakkan agar mimpi buruk ini segera berlalu.

Namun, penderitaan tidak berakhir saat gempa—yang hanya berlangsung kurang dari lima menit—berhenti. Puing-puing kehidupan yang telah hancur dan suara-suara tangisan orang-orang, yang kehilangan anggota keluarga, tidak henti-henti mengingatkan bahwa bencana tersebut benar-benar nyata. Tempat tinggal musnah. Harapan nyaris punah. Saat kondisi dirasa sudah aman, orang-orang mulai mencungkili reruntuhan rumah mereka, berharap tidak menemukan keluarganya yang hilang di sana. Harta selalu bisa dibeli lagi, tapi orang-orang yang mereka cintai tak akan pernah bisa terganti.

Tidak ubahnya seperti gempa bumi berkekuatan lebih dari tujuh skala Richter, seminggu yang lalu duniaku juga berguncang hebat. Sangat hebat, hingga kakiku tidak bisa menahan beban tubuhku. Hatiku, yang selama ini susah-payah kulindungi, porak-poranda akibat kuatnya getaran. Selama beberapa hari aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya diam dan berharap mimpi buruk itu segera berakhir. Ketika aku bisa memaksa diriku untuk berdiri tegak lagi, puing-puing cintaku dan jeritan hatiku, yang telah kehilangan separuh jiwaku, tidak pernah berhenti mengingatkan bahwa tragedi tersebut benar-benar nyata. Akan perlu waktu sangat lama untuk membangun hatiku kembali. Jika bisa.

Aku menjerit dalam penderitaan yang seperti tidak berkesudahan ini, menangisi nasib burukku setelah dicampakkan seseorang yang sangat kucintai. Keinginanku untuk mengarungi rumah tangga dan menua bersamanya kini harus dikubur dalam-dalam. Bagaimana mungkin orang-orang di sekelilingku menyuruhku untuk segera melupakan patah hati itu dan bergerak maju? Apa mereka bilang? Aku masih muda, hidupku masih panjang, akan ada laki-laki yang lebih baik yang menungguku di depan sana? Mereka semua seperti tidak pernah patah hati saja.

Demi Tuhan, ini baru hari kedelapan sejak aku menerima pesan singkat yang mengakhiri semua angan-anganku mengenai masa depan yang sempurna. Iya, benar, laki-laki yang sangat kucintai mengakhiri hubungan melalui pesan singkat—tidak lebih dari lima kata. Dia tidak menanggapi balasanku, yang menuntut penjelasan atas keputusan sepihak yang dibuatnya. Keputusan yang seketika meruntuhkan kepercayaanku terhadap cinta. Belasan kali dalam sehari aku memeriksa apakah pesan yang kususun gagal kirim. Tidak, pesanku bahkan terbaca. Ribuan kali aku mencoba menghubunginya, berharap dia punya keberanian untuk bicara langsung denganku. Tetapi semua panggilanku diabaikan.

Setelah mengetahui aku baru saja mengalami patah hati terparah dalam sejarah percintaan umat manusia—yang setara dengan gempa bumi hebat yang kuceritakan di atas—masihkah teman-temanku yakin aku akan bisa membuka hati lagi untuk laki-laki lain? Dalam waktu sesingkat ini? Apa mereka bilang? Selain waktu, yang bisa menyembuhkan patah hati adalah cinta baru? Jadi aku harus segera memulai hubungan baru? Mungkin aku bisa. Tetapi aku tidak ingin. Luka di hatiku masih basah. Bahkan mungkin selamanya tidak akan pernah mengering.

"Paling nggak kan, setelah putus, kamu nggak perlu lagi ketemu sama dia. Dulu waktu aku putus sama mantanku, kami masih sering papasan. Di bank, di supermarket. Bahkan aku ketemu waktu dia sudah sama pacar barunya saat aku belum moved on." Salah satu temanku mencoba menghiburku.

Namun gagal. Hanya karena Darwin Dewanata—laki-laki yang kucintai melebihi apa pun di dunia ini—tidak tinggal di sini, di Indonesia, tidak satu kota denganku, aku tidak harus bertemu dengannya setiap hari, bukan berarti proses menyembuhkan patah hati akan lebih mudah. Tidak sama sekali. Patah hati tetaplah patah hati. Mau satu pihak masih hidup di dunia, pihak satunya sudah diambil Sang Maha Kuasa, rasa sakit yang timbul sama besarnya. Upaya untuk melupakan kenyataan pahit itu sama besarnya.

Seminggu ini berat sekali untuk dilalui. Memaksa diri turun dari tempat tidur dan menyeret badanku ke kantor terasa sama seperti memindahkan Gunung Merapi dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Mustahil kulakukan. Tidak ada energi yang tersisa setelah aku tidak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Makan tidak lagi menyelerakan. Bahkan perutku tidak bisa merasakan lapar. Kepalaku pening dan mataku berkunang-kunang. Kalau hidup terserah padaku, aku akan mengepak barang-barangku dan membeli tiket pesawat ke Timbuktu. Supaya aku tidak bertemu degan orang-orang yang bertanya kenapa wajahku sembab dan mataku memerah, tepat sehari setelah gajian.

Bahkan, melihatku layu tak bersemangat, selebritas muda—usianya hampir sepuluh tahun lebih muda dariku—yang menjadi brand ambassador dalam proyek terbaruku memberi nasihat padaku tentang bagaimana menjaga kebugaran. Supaya wajahku tidak terlihat cepat tua karena aku tidak pernah tersenyum. Anak itu belum pernah patah hati, aku yakin.

Tetapi aku sedang tidak ingin membahas masalah ini. Masalah patah hati yang seperti tidak akan pernah selesai. Yang ingin kulakukan sekarang adalah menyelesaikan presentasi dan segera pulang ke rumah. Untuk menangis keras-keras. Mengutuk mantan kekasihku dan menyumpahi cinta yang telah bersikap tidak adil kepadaku. Kenapa akhir bahagia abadi selama-lamanya bisa dengan mudah didapatkan banyak orang, sedangkan aku tidak akan pernah merasakannya sama sekali seumur hidupku?

"Ela, mau nyushi? Daripada suntuk begitu." Sali, sahabatku sejak kuliah, dan sekarang teman sekantorku, mencegatku saat aku keluar dari ruang rapat di lantai lima.

Solusi Sali untuk semua masalah adalah makan. Ketika bahagia dia merayakan dengan makan, saat sedih pun dia menghibur diri dengan makan. Bagaimana dia bisa menjaga bentuk badannya tetap sempurna seperti itu, aku benar-benar tidak tahu.

"Nggak dululah, Sal. Aku mau langsung balik." Jawabku tanpa semangat saat kami masuk lift. Pergi ke restoran dan memesan makanan hanya akan membuang-buang uang. Karena satu suap pun aku tidak akan bisa menelan.

"Kamu makan apa malam ini? Aku mau bareng. Ke apartemenmu juga aku datengin. Males makan sendiri nih." Sali mengekoriku dan tidak mau berhenti bicara. "Nasib nggak punya pacar. Cuma bisa mengandalkan teman."

Aku memijit keningku. Jawabannya sudah jelas. Seperti malam sebelumnya, aku tidak akan makan apa-apa. "Ya lihat nantilah, Sal. Kalau laper tinggal pesen pakai ojol aja. Sorry. Beneran, aku capek dan pusing banget hari ini. Tahu sendiri aku mesti kerja sama anak baru gede. Aku nggak ngerti dia ngomong apa. Kosa kata anak-anak zaman sekarang bener-bener nggak masuk akal."

Sali tertawa keras. "Sepuluh tahun yang lalu kita seumur mereka, Ela."

Setelah memeriksa bahwa tidak ada lagi orang lain yang bersama kami, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Sali. Selama beberapa hari ini Sali sudah menahan rasa penasarannya demi memberiku wkatu untuk berduka. Menyesali matinya pernikahan di masa depan yang tidak akan pernah terjadi.

Kantor bukan tempat yang tepat untuk mencurahkan isi hati, tapi aku sedang tidak ingin pergi ke mana-mana. Tidak punya tenaga untuk melakukannya.

"Aku putus sama Darwin."

***

Unexpectedly in LoveWhere stories live. Discover now